Menghemah Budaya, menjamah sejarah

Senin, 14 Maret 2011
Share this history on :
(barusan bongkar dokumen di laptop, ketemu sama tugas semester I tentang kunjungan ke Museum Ronggowarsitho. Cekidooot)



Ujian Filologi kurintangi dengan 85% kesuksesan, meninggalkan sejumput penyesalan yang tidak terelakkan, ya, targetku adalah perfect dan kalau penyakit mental menyeruak saat ujian, gugup, maka semua persiapan yang telah matangpun bisa terpatahkan. Filologi adalah ujian terakhir minggu ini karena esoknya hari sabtu, dan segala macam rencana untuk memulihkan tenaga telah kusiapkan, bangun tidur agak siang lalu internet-an.



Rupanya lagi-lagi semua itu tidak bisa terwujud, kenapa lagi-lagi, karena setiap minggu ada saja jadwal kegiatan mendadak yang mengurungkan niatku untuk istirahat. Seperti kali ini, tiba-tiba saja KomTing (Komandan Tingkat) mengumumkan kalau ada jadwal tambahan dari Bu, ups, Mbak Laura, dosen Pengantar pengkajian sastra—menurut kakak kelas adalah seorang dosen yang senang memberi tugas. Tugasnya adalah kunjungan ke Museum Ronggowarsito.

Banyak anak bersamaan melafazkan “huh”, tanda kalau mereka juga tidak rela ada tugas dihari istirahat. Tak ayal beberapa protes pun dilayangkan kepada Dissa—KomTing—yang hanya bisa mengangkat bahu tanda kalau ia tidak bisa memberi alasan yang berdasar. Walaupun tidak ada protes yang keluar dari mulutku, tapi jelas-jelas kedongkolan terasa kuat menyeruak dan egoku sedang merajai sekarang, akupun terduduk muram didepan Ruang 103.

Tapi untungnya, selama ini aku menempatkan tugas sebagai prioritas utama, artinya segala jadwal diluarnya adalah “pengganggu”, walau pun jadwal itu sebenarnya terganggu oleh tugas itu sendiri. Kedongkolanku berangsur tergerus dengan bayangan-bayangan betapa menyenangkannya kegiatan itu nantinya, walau kuciptakan sendiri, ternyata terasa mampu memunculkan keinginan itu, maka kuputuskan untuk mengikuti kegiatan besok.

Tapi satu hal yang tetap berat kulakukan dan itu membangkitkan kembali sedikit kedongkolanku adalah keharusan bangun pagi dihari istirahat, makanya tidak heran kalau pagi ini beberapa kali kuangkat kepala dari bantal, ngelirik jam sekenananya dan kembali lagi menaruh kepala di bantal. Dititik jarum jam menunjukkan pukul 07.20 aku tersentak karena waktu yang tersisa tinggal 40 menit untuk sampai ke kampus FIB (Fakultas Ilmu Budaya). Tanpa pikir panjang aku langsung bergegas untuk mandi. Kuperkirakan akan sulit untuk tepat waktu, apalagi harus berjalan kaki selama 25 menit menuju ke kampus, yang jelas jalanku harus dipercepat kali ini.

Alhamdulillah, aku hanya telat 5 menit dan ternyata masih banyak mahasiswa lain yang juga belum datang. Setelah sampai di depan Ruang 103 kuambil almamaterku yang masih terlihat sangat baru, ya, baru kali ini aku memakainya. Aku melihat di kaca jendela dan betapa aku terlihat berwibawa dengan almamater ini.

Sebuah bus telah disiapkan untuk mempermudah bagi mahasiswa yang tidak punya kendaraan, membuatku teramat lega, karena masalah transportasi masih sangat menjadi hambatan bagiku dalam beraktifitas. Tempat asalku yang jauh membuat barang sekecil apapun yang dikirimkan menjadi mahal, apalagi sebuah motor. Pertama kali mendengar kalau ongkos kirim motor dari Riau ke Semarang mencapai Rp. 1 juta rupiah, aku dan orang tua langsung mengurungkan niat sampai beberapa semester ke depan.

Setiap detik perjalanan menuju museum menjadi sangat menarik. Tingkah teman-teman yang sering mengundang tawa adalah tanda bahwa keakraban telah lahir didalam jiwa kami semua yang tidak bisa di beli dengan cara apapun. Video tembang lawas diputar sang supir bus, beberapa anak jelas tidak setuju dan melayangkan protes, meminta lagu terkini yang diputar, Geisha, Zigaz atau Ungu, tapi apa daya ternyata stock lagu yang ada cuma versi “orang tua”. Dengan malas semua yang ada di bus melihat video yang slide setiap lagunya hampir menampilkan sebuah konsep yang sama, seorang wanita berjalan sendiri atau menari kecil, lalu diselingi dengan gambar penyanyinya, usah ditanya jenis musik, yang jelas semuanya slow.

Pengetahuanku tentang Museum Ronggowarsito sama sekali nol, juga tentang bagaimana yang namanya Sarasehan Budaya.

“. Hm, sepengetahuanku yat, Sarasehan itu artinya mengingat orang yang telah meninggal, ya semacam ngumpul-ngumpul gitu…” jawab Sobi yang duduk disebelahku, tepatnya dideretan belakang bus.

“. jadi nanti kita ngomongin orang yang sudah meninggal..?”

“. Sek, sek, kaya’nya konteksnya berbeda deh kalo ke museum, mungkin kita nantinya diajak mengingat budaya-budaya gitu..” Jawaban Sobi cukup memberi gambaran padaku tentang apa sebenarnya kegiatan yang akan ku ikuti kali ini.

Bus belok kekiri di jalan yang tidak kukenal, yang jelas pas belokan itu kulihat plank besar bertuliskan Museum Ronggowarsito. Di titik ini mulailah aku tidak bisa diam, kucoba melihat dikaca bus kenampakan gedung museum yang menjadi tujuan perjalananku ini. Sebuah bangunan cukup besar terpampang kala bus mulai masuk ke halaman museum yang luas. Setelah turun, dengan jelas dapat kulihat gedung yang kental dengan nilai seni dengan banguna bercorak Jawa. Yang membuatku tertarik dan ingin cepat-cepat mendekat karena melihat ada beberapa patung besar yang berada tepat di depan pintu masuk Museum, patung itu sepertinya ingin menggambarkan suasana perjuangan salah seorang tokoh bersejarah.

Perasaanku mulai tertantang untuk mengetahui apa saja yang ada di Museum, sementara menunggu guide penjelajahan museum, aku dengan teman-teman sibuk melihat sana sini. Di bagian depan museum banyak sekali ukiran-ukiran indah yang mempunyai nilai estetik yang tinggi, beberapa saat aku mengamati setiap lekukannya, betapa aku sangat mengagumi kemampuan manusia menciptakan keindahan dalam hal-hal yang dibuat rumit.

Dikanan kiri pintu masuk kulihat sebuah karya yang diukir di dinding, sebelah kanan ditulis dalam bahasa Indonesia sedang yang kiri ditulis dalam aksara Jawa. Aku tertarik dengan ukiran sebelah kanannya. Judul karya tersebut Kalatidha, dan mulailah kubaca aksara Jawanya dengan sangat berantakan, untung Tantri yang asli orang Jawa membantuku membaca dari awal hingga akhir, ucapanku yang salah membuat kami tertawa geli.

Kegiatan menunggu dilanjutkan dengan berfoto ria, siapa saja yang mengarahkan kameranya untuk sebuah objek langsung di sergap tanpa ampun. Banyak yang dongkol karenanya, apalagi yang sudah berpose super gokil siap-siap di foto, malah hanya kelihatan seperempat muka karena saking banyaknya yang menyerbu. Gunungan di sebelah kanan ujung bagian depan gedung adalah tempat paling menarik bagiku untuk dijadikan background, karena bentuknya yang sederhana tapi menyembunyikan nilai seni yang bernilai tinggi.

Sepuluh menit kemudian seorang wanita paroh baya datang dengan membawa megaphone yang digantung dilehernya, dengan sigap ia memanggil seluruh mahasiswa angkatan 2009 untuk berkumpul, tepat di depan pintu masuk Museum Ronggowarsito. Namanya Bu Hermawati, ku ketahui dari label yang terpampang jelas di bagian kiri bajunya. Ia menceritakan kepada kami tentang sejarah awal mula museum ini berdiri, kami menyimaknya dengan seksama.

Museum ini diresmikan pada tanggal 15 Juli 1985, nama ronggowarsito sendiri diambil dari nama seorang pujangga besar Keraton Surakarta Hadiningrat, yang karya-karyanya sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Jawa. Baru kuketahui kalau karyanya kalatidha berisi tentang ramalan tentang adanya zaman edan dimasa yang akan datang, ia mendapat julukan “pujangga rakyat” yang diberikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1953.

Museum ini menyimpan lebih dari 50.000 buah koleksi yang disimpan diberbagai bagian ruangan. Tidak hanya sebagai tempat kunjungan sejarah belaka, museum juga dilengkapi dengan berbagai macam jenis kegiatan yang dilaksanakan secara teratur setiap minggunya, seperti pelatihan tari Jawa, pelatihan mendalang dan pelatihan memainkan gamelan. Mendengar keterangan ini membuatku sangat terkagum dengan konsitensi pihak museum dalam memperjuangkan kelestarian kebudayaan yang ada. Apalagi diketahui dari tahun ke tahun pengunjung museum makin berkurang, yang paling parah adalah tingkat pengunjung umur 16 thn ke atas.

Sebelum memasuki kedalam ruangan museum, kami diminta untuk menitipkan tas yang kami bawa kedalam safety box yang telah tersedia didepan ruangan, kami juga mendapatkan sebuah buku catatan. Aku merasakan kalau perjalanan ini bakal menarik dan akan sangat menambah wawasan tentang budaya nusantara.

Mengawali perjalanan, kami memasuki ke gedung A, didepan gedung kami disuguhkan dengan sebuah patung bernama Yoni yang merupakan lambang dari Dewa Siwa, menurut Bu Hermawati, patung ini sebenarnya berpasangan dengan patung yang bernama Lingga, tapi patung Lingga tidak ditemukan saat patung Yoni ditemukan di Magelang tahun 1980—usianya sudah sejak abad 10 m, kalau kedua patung itu dipertemukan maka  akan menjadi Dewa Kesuburan.

Gedung A1 (lantai bawah) menyajikan tentang sejarah alam terkait perkembangan permukaan bumi secara umum. Disajikan dalam bentuk gambar-gambar yang terbingkai secara rapi dan teratur yang memperlihatkan sejarah perkembangan bumi terpajang pada dinding ruangan.

Setelah puas menikmati koleksi yang ada dilantai bawah, kami naik ke lantai dua atau yang di sebut gedung A2, ruangan ini menyajikan koleksi paleontologi berupa fosil-fosil binatang purba yang pernah ditemukan di Jawa Tengah. Salah satu koleksi yang menarik dan membuat aku terperangah adalah fosil gading gajah Stegodon terbesar yang pernah ditemukan di daerah Terban, Jekulo, Kudus. Panjang gadingnya saja 3 meter, bagaimana dengan keseluruhan tubuhnya, itulah yang bermain-main dipikiranku.

Gedung B2 (lantai atas) menyajikan benda-benda terkait peninggalan prasejarah dan peradaban Hindu-Budha. Beberapa koleksi alat-alat batu dan logam menjadi sajian yang mewakili zaman prasejarah. Peradaban Hindu-Budha di Jawa Tengah merupakan salah satu peradaban tertua di Indonesia. Arca-arca Hindu sperti arca Siwa, arca Durga, arca Agastya, dan arca Ganesha dari Candi Ngempon, Pringapus Kab. Semarang merupakan salah satu koleksi yang mengisi ruang pamer di ruangan ini.

Saat pemandu mengajak turun lagi kebawah, aku jadi bingung sendiri karena mengira nantinya akan naik kelantai atas. Gedung B1 berisikan koleksi dari masa peninggalan Islam dan Kolonial di Jawa Tengah. Sebuah ornamen dari Masjid Mantingan merupakan salah satu penanda peradaban Islam telah berkembang pada masa lalu. Ornamen tersebut berukirkan sulur-sulur daun dan bunga teratai serta terdapat motif gajah yang tersamarkan pada ukiran tersebut. Pada ruangan ini juga disajikan foto-foto lama Kota Tua Semarang (Semarang Old Cities) pada masa kejayaan Kolonialisme Belanda yang bangunannya hingga sekarang masih tetap dilestarikan antara lain: Gereja Bleduk, Stasiun Tawang, Kantor Pos Johar, Pasar Johar dan lain-lain.

Masih dilantai bawah atau disebut gedung C1, dianggap ruang pamer  paling menarik karena berisi ruang diorama yang menampilkan delapan adegan peristiwa bersejarah yang berhubungan dengan sejarah perjuangan bangsa. Setiap diorama dilengkapi dengan narasi dari setiap peristiwa melalui earphone yang tersedia, sayangnya banyak lampu dari diorama yang tidak menyala sehingga keseluruhan isinya tidak kelihatan dan kami tidak bisa mendengarkan rentetan peristiwanya melalui earphone.

Aku mulai merasa kelelahan dan kehausan, apalagi mengetahui kalau harus turun kembali kelantai bawah atau gedung C2 yang merupakan ruang ethnografi yang memperlihatkan sajian kehidupan masyarakat Jawa dalam teknologi mata pencaharian, industri, kerajinan dan rumah tinggal. Pemaparan tentang industri Beselen (pande besi) merupakan sajian edukatif khususnya tentang bengkel pembuatan alat-alat pertanian dan pertukangan, alat rumah tangga, serta alat-alat pusaka seperti keris, tombak, dan pedang yang biasa dikerjakan oleh seorang empu.

Kakiku mulai terseret-seret kelelahan untuk kembali lagi naik ke lantai atas yang menyajikan kesenian daerah yang berkembang di Jawa Tengah baik berupa benda, peralatan maupun jenis kesenian musik, pagelaran maupun pertunjukan. Salah satu koleksi yang dipamerkan adalah barongan dan kuda lumping yang merupakan kesenian pertunjukan tradional yang berbau magis sehingga diperlukan seorang yang dapat menetralkan pemain yang mengalami trans (kesurupan). Barongan sudah dikenal pada masa Hindu-Budha di Jawa Tengah, jauh sebelum agama Islam berkembang di Jawa Tengah.

Gedung D2 (lantai bawah) terbagi menjadi beberapa ruangan untuk memisahkan antara satu konsentrasi dengan ruangan konsentrasi lainnya. Ruangan ini dibagi menjadi ruang pembangunan, ruang numismatik atau heraldika, ruang tradisi Nusantara, ruang intisari, dan ruang hibah. Ruang hibah adalah ruangan yang memamerkan koleksi yang dihibahkan oleh masyarakat baik individu maupun instansi. Benda-benda hibah antara lain: tosan aji, keris, tombak, dan sepeda pengantar surat.

Yang berkilauan warna kuning cerah adalah ruang koleksi emas. Ruangan ini memajang benda koleksi berbahan emas yang dibuat pada zaman klasik seperti gelang, kalung, kelat bahu, binggel, cincin stempel, keris, dan berbagai bentuk wadah. Beberapa koleksi emas ditemukan di Witolakon, Wonoboyo Kabupaten Klaten yang berat keseluruhan mencapai 25 kilogram.

Aku mencapai puncak kelelahan setibanya diruangan ini, kakiku mulai terasa ngilu dan kesemutan karena berdiri dan berjalan terlalu lama, beberapa temanku malah sudah keenakan duduk di kursi panjang lantai bawah. Secara fisik memang aku sangat kelelahan, tapi sebenarnya ada hal yang membalas semua kelelahan yang kurasakan, yakni makna besar yang dapat kupetik dari perjalanan ini. Bagaimanana orang lain mau menghargai budaya kita kalau kita sendiri buta tentangnya dan sama sekali tidak mengetahui tentangnya.

Setelah kembali lagi kebagian depan gedung, masuklah kami pada acara inti, Sarasehan Budaya yang dilakukan diruang pertemuan. Aku bergabung dibarisan depan kumpulan mahasiswa yang siap mengikuti acara ini. Mahasiswa angkatan 2009 yang memang menjadi sasaran acara ini duduk ditengah ruangan menghadap ke panggung pembicara, sedangkan panitia-panitia acara yang banyak dari angkatan 2006 menemani dibelakang angkatan 2009.

Mbak Laura dan Bu Hermawati menjadi pembicara pada Sarasehan Budaya ini. Bu Hermawati mendapat giliran pertama memberikan persentasi, dengan materi powerpoint yang telah disusunnya persentasi ini terasa menarik. Bu Hermawati menyinggung tentang kebiasaan remaja sekarang yang senang pergi ke mall daripada ke museum, ia juga menampilkan apa saja yang dapat kita lakukan di museum. Pengklaiman budaya yang kita miliki oleh negara lain dikarenakan oleh kelalaian kita sendiri sebagai warga bangsa yang lebih mencintai budaya dan gaya hidup dari luar, apalagi dizaman globalisasi sekarang ini, perngaruh itu sulit dibendung dengan adanya interaksi yang tak terbatas di seluruh dunia.

Mbak Laura melanjutkan penjelasannya, meskipun tidak menggunakan powerpoint seperti Bu Hermawati, tapi pernjelasan Mbak Laura sangat mengena dan mendalam. Menurutnya sekarang ini karya sastra tengah digandrungi jenis sastra populer yang notabenenya mengikuti perkembangan zaman dan cenderung pada gaya hidup yang sedang trendy, sedangkan karya sastra serius malah mulai kurang disukai, walau ianya mempunyai nilai mutu yang tidak diragukan lagi.

Sesi pertanyaan dibuka, dan aku mendapat kesempatan bertanya.

“. Pertanyaan ini saya tujukan untuk Mbak Laura, seperti yang Mbak bilang bahwa sekarang ini karya sastra tengah digawangi sastra populer yang lebih mendukung isu komersil dari sebuah karya. Nah kalau nantinya kami menjadi penulis, bagaimana kami bisa mendapatkan isu komersil itu tanpa menghiraukan pertanggungan moral kami terhadap budaya sebagai seorang sarjana sastra..”

Pertanyaan ini dijawab Mbak Laura dengan singkat tapi memuaskanku. Menurutnya, tidak masalah kalau seorang penulis mengikuti budaya populer, tapi tetap harus memasukkan unsur budaya yang telah lama ada. Jadi jangan melulu kekinian yang ditampilkan, tapi bisa memasukkan unsur budayanya, seperti budaya ewoeh pakewoeh atau budaya bersopan santun dalam bersikap.

Sarasehan Budaya selesai dengan beragam manfaat yang aku dapatkan. Ilmu, pengalaman, empati budaya kini terasa kuat menguasai jiwaku. Kelelahan yang terasa sepertinya hilang dan lenyap tiba-tiba, sungguh aku merasa kalau sebagai generasi muda harus memperjuangkan kebudayaan kita yang menjadi identitas bangsa. Aku tidak mau lagi ada setitikpun budaya bangsa ini direbut oleh bangsa lain yang tidak berwibawa. Aku pulang dengan senyum dan kelegaan karena sadar lebih baik waktu kosong di isi dengan kegiatan bermanfaat, daripada malas-malasan dirumah tanpa mendapat sebarang manfaat, hanya kerugian belaka.

Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!