AKU LINGUIS (YANG) NYASTRA

Kamis, 17 Maret 2011
Share this history on :

Peminatan di Prodi Sastra Indonesia memang baru akan diambil di semester VI, namun aku sudah menentukan pilihan dari sekarang dan semoga pilihan ini adalah juga pilihan dari ALLAH SWT sebagai pilihan terbaik. Aku dari awal sudah merencakan akan mengambil peminatan Linguistik (kebahasaan) dari dua peminatan lainnya; sastra dan filologi. Anehnya, teman-temanku bakal kaget kalau kuutarakan niatku ini, karena memang selama ini yang lebih terang dari bakatku adalah sastra. Aku lantas bergembira, karena aku adalah Linguis yang Nyastra.


Tidak mudah untuk menentukan pilihan ini. Dari beberapa teman yang kutanyakan langsung, kebanyakan mereka masih ‘bingung’ menetapkan pilihan. Ketiga peminatan itu menawarkan jalan yang berbeda, memang. Namun, ketahuilah jalan yang ditawarkan adalah arah kesuksesan yang direngkuh sesuai dengan apa yang kita miliki.

Alasanku dalam menentukan pilihan memang agak berlandaskan pemikiran yang  pragmatis dan sangat subjektif. Aku menganggap sastra bisa kupelajari dengan terus berproses di dalamnya, walau semakin lama aku sadar bahwa sastra yang kudeskripsikan sangat sempit dan hanya bergerak pada tataran karya. Penulis bisa dari kalangan apa saja, namun menjadi Ahli Sastra merupakan orang-orang dengan seperangkat materi akademis yang begitu teoritis. Dapat disimpulkan, apa yang ingin kudapatkan dalam sastra hanyalah sebatas sebagai pembuat, bukan ahli.

Bukannya aku tidak menurut kehendak hati, bahkan aku telah menuruti kemauan hatiku. Setelah ku cek semakin dalam, aku ingin menjadi seorang linguis, menjadi seorang ahli bahasa dan bergerak dibidang kebahasaan. Terlepas dari itu semua aku tetaplah pelaku sastra yang terus berproses menghasilkan karya.

Aku berniat bekerja di Pusat Bahasa, sebagai tenaga akademisi yang meneliti gejala dan fenomena bahasa. Selanjutnya berharap dapat beasiswa dari lembaga tersebut untuk melanjutkan studi. Bahkan jika mereka inginkan, aku siap untuk menjadi tenaga pengajar Bahasa Indonesia bagi mahasiswa luar negeri. Selain itu menjadi linguis membuka peluangku untuk tekun menjadi editor dan mewujutkan keinginan awal membentuk sebuah perusahaan penerbitan.

Hal diatas adalah rangkaian cita-cita, dan kau mungkin menilai aku sudah sangat muluk-muluk. Apa yang membatasi kita dengan cita-cita? Tidak ada kecuali kitalah yang membatasinya. Keinginan memang tetap harus berdasar. Tidak logis kalau seandainya aku bercita-cita menjadi seorang mantra atau akuntan. Aku bercita-cita sesuai koridor arah perjalanan yang coba kubuat. Kembali lagi rencana Tuhanlah yang akhirnya memutuskan, kemana kita akan beranjak dan melangkah?

Aku tidak akan meninggalkan proses berkesustraan yang telah kurintis dari SMP. Mengarang adalah hidup, bagiku. Aku semakin percaya bahwa kehidupan ini adalah retorika yang membangun mozaik tersendiri, dan itu saling bertemu satu sama lain jika hanya ia dituliskan. Menulis bukan lagi pekerjaan tabu yang hanya bisa dilakukan oleh kalangan tertentu, menulis telah menjadi semacam ‘pelampiasan’ yang menghasilkan sesuatu yang utuh. Bahkan curhat di blog pun adalah pelampiasan yang bisa menjadi utuh.

Tidak mudah memang untuk menjadi seorang linguis yang baik. Dengan materi yang mendekati eksak serta sensitifitas seorang linguis sangat diandalkan dalam menilai fenomena bahasa. Itu juga sudah mulai kurasakan mulai dari mata kuliah Pengantar Linguistik Umun, Bahasa Indonesia, Sintaksis dan Semiotika. Semua menawarkan kerumitan yang butuh kesabaran dan daya ingat.

So, berharap Aku Linguis (yang) Nyastra

Semarang, 17 Maret 2011
Qur’anul Hidayat Idris

Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!