Gerimis di Dada Iping (Bag. 3)

Sabtu, 12 Maret 2011
Share this history on :
(bagian 2, klik di sini)

“aku udah nggak punya pacar sekarang!” kubenam puntung rokok di asbak sampai sisa apinya padam. Dua teman di depanku sontak terdiam, menghentikan tawa.
“apa Ping?” Ocim menyodorkan telinga
“kami udah putus!” kuambil rokok di lantai lalu menyalakannya, mereka saling pandang.
“sama Iza?”
Kuhembuskan asap rokok itu melewati kedua wajah kedua temanku itu, mata mereka mengerjap. Suasana dihatiku kembali kusam. Iza kembali bercokol di kepalaku. Aku mencoba tenang dengan rokok yang terus kuhisap.


“Emang ada pacarku selain Iza?” Zen menggeleng, Ocim beringsut lalu duduk di sebelah kananku.
“sejak kapan Ping?”
“sehari yang lalu!”
“hah? Kenapa kami tidak kau beritahu brader?” Zen protes hebat
“cukup aku yang tahu Zen, karena aku juga yang merasakannya” kupental ke dalam asbak abu rokok yang telah memanjang
“lalu apa gunanya sahabat Ping? Walaupun ini masalah pribadi, kita tetap butuh berbagi!”
“betul itu!” Zen berkerut dahi
“aku sudah terlalu banyak merepotkan kalian”
Zen menangkap rokok yang mau menuju bibirku, dibenamkannya dalam asbak, aku tak protes. “ceritalah brader, setidaknya kau tidak memikirnya sendiri”
“kalian bertengkar?” Ocim mulai mengintrogasi
“tidak!”
“kau berselingkuh?”
“tidak!”
“atau, jangan-jangan Iza yang berselingkuh!” Zen menimpali cepat sampai tangannya terangkat ke atas, aku lagi-lagi tersinggung, kutatap tajam Zen sekali lagi.
“maaf!”
“siapa yang mutusin?” Ocim melanjutkan
“Iza!”
“alasannya?”
“tidak ada alasan!”
“kok bisa?”
“dia langsung pergi!” aku menunduk
“kau tidak sms atau telpon dia?”
“tidak bisa dihubungi!”
“coba kutanyai dia!” kutahan tangan Zen yang ingin mengambil ponsel yang disimpannya digulungan sarung.
“kata Shanda, Iza mutusin karena ingin mencari cowo yang tajir, dan tidak kere sepertiku!”
“berengsek!”
Reflek, kugengam kerah kaos Ocim, dia terdorong ke belakang, Zen langsung menarik tanganku. “jangan pernah kau sebut Iza berengsek seperti pacarku yang dulu yang memang berengsek. Aku tahu ini sakit, tapi tak sekalipun aku menyalahkannya. Aku hanya sedang sedih, aku sedang sedih!” aku kembali melenturkan tubuhku, aku semakin menunduk dengan tangan menutup wajahku. aku tahu, ada embun di mataku.
“aku minta maaf Ping!”
“maafkan aku juga kawan!” tak kuperlihatkan wajahku, aku malu dan baru menyadari kalau aku m e n a n g i s.
“menangis aja brader, jangan kau tahan, aku tahu kau begitu mencintai Iza, lebih dari itu kau menyimpan harapan padanya, menangislah kawan!” Zen memegang pundakku.
Embun dimataku menjadi bulir, aku tak mengerti ia telah jatuh untuk seorang wanita, pertama kali dalam hidupku. Iping? Si anak vespa, menangis? Aku menafikan semua superior kelelakianku, dan menyerah pada kekuatan yang mendorong di ulu hatiku. Iza rupanya telah menjelma airmata, sekarang ia menampakkan diri ketika tak bisa lagi kulihat ia.
“aku bingung Ping, alasan itu sepertinya tidak mungkin keluar dari seorang Iza, kalau ia gengsi pacaran denganmu, kenapa ia tidak terlihat seperti itu dari kemaren-kemaren? Siapa Shanda itu  Ping?”
Aku mengusap mataku cepat, bekasnya melembapkan wajahku dan memantul di cahaya lampu. “dia temanku, anak ekonomi. Jangan bilang mau meragukan ucapannya?” aku menatap Ocim.
“tidak brader, tapi apa mungkin alasan Iza seperti itu?”
“apa alasanku menolak alasan itu?”
“hm”
“tidak ada bukan?”
“si… si …
“Shanda!” Ocim menyambung ucapan Zen cepat.
“iya si Shanda itu, darimana ia tahu alasan itu brader?”
“dari Iza!”
“mereka temenan ya?”
“aku kenal Shanda dari Iza, mereka udah temenan lama!”
“hm, lumayan dipercaya kalau gitu” Ocim menimpali
“tapi kenapa Iza tidak ngomong langsung ke Iping?”
“mungkin karena malu!” mereka malah ngobrol sendiri, aku kembali menunduk
“kenapa malu!”
“kampret, Izakan selama ini tidak bersikap seperti alasan itu, pastilah dia takut disangka Iping sudah berpura-pura!”
“berarti?”
“kampreeet!”

“woooooiii, I’m baaack.. Pada kangen pasti!” kami mendadak terperangah lalu sama-sama mendongak memandang ke luar kamar. Baru aku ingat kalau Mahar malam ini kembali lagi ke Semarang, lima hari dia pulang ke Bogor karena ibunya sedang sakit. Orangnya jangkung, gondrong, kami menyebutnya ‘Penyair Garis Keras’. Ah, lambat laun kau akan tahu alasan kenapa kami namai dia seperti itu.
“jangan bilang masalahku ini ke Mahar dan Dika ya, oke!” mereka tampak ragu
“tapi..
“awas kalau bilang-bilang!” aku memperingatkan Zen keras.
“oke oke!”

“wiw, selamat datang kembali penyair, gimana kabar Ibumu?” Ocim berdiri lalu keluar dari kamarku, aku dan Zen langsung mengikuti, aku mencoba mengembangkan senyumku.
“Alhamdulillah, kemaren setelah tambah darah, tubuhnya mulai membaik, liat nih!”Mahar merangkul Ocim lalu memerlihatkan pergelangan tangannya. “Aku menjadi orang yang paling bahagia karena darahku yang dari darahnya kembali datang untuk menjemput nadinya!”
Kami harus berpikir lebih dalam jika berbicara dengan Mahar.
“kan kamu takut jarum suntik Har?” Zen mengangkat tangan Mahar dan melihat bekas di pergelangan.
“untuk mereka berdua, aku siap di nuklir” Mahar berapi-api.

“jangan lupa bayar hutangmu tadi Har, awas kalau telat!” Dika mendekat ke kami, dia baru beres memasukkan motornya ke dalam kontrakan, dia yang menjemput Mahar di Stasiun Poncol.
“tenang Dik, kalau nanti aku telat, kau boleh ambil sempakku yang biru”
“idiiih, amit-amit..” Dika berlagak mau muntah, aku tersenyum, lagi-lagi mereka sedikit menghiburku.
“kok diam Ping?” Mahar ternyata merasakan perbedaan sikapku
“ah, nggak, ah. Senang Ibumu udah baikan!”
“makasih Ping, eh. Gimana kabar Iza?”
Aku tersedak,
“ba.. baik!”
                 Mahar mengeluarkan sesuatu dari tas sandangnya. “Nih Ping!” ia menyerahkan sebuah mainan kaca bulat yang di dalamnya berisi air yang bebercak-bercak putih, ditengahnya ada sebuah replika pohon, indah.
“buatku?”
“Mahar pilih kasih!” belum sempat Mahar menjawab, dipotong Zen yang kembali protes berat.
“kampret, itu bukan buat Iping, nih ambil” aku mengambil mainan kaca itu, tapi heran karena itu bukan buatku.
“lha ini buat siapa?”
“buat Iza!” kami semua kaget
“buat Iza?” aku mengulang dengan tanya
“wuy, kok pada heran, kemaren itu Iza sms, dia minta dibawain hujan dari Bogor, siapa yang nggak pusing dimintai seperti itu, nah aku dapat ide, kupesan mainan itu langsung ke tempat pembuatnya, kusuruh mereka mengisinya dengan air hujan Bogor yang baru turun”
Zen dan Ocim menatapku sedih, aku masih memegang mainan itu lalu tanpa sadar menyandarkannya ke dada, kurasakan Iza ada disini sekarang.
Saat bersamaan, tanpa kusadari hape di jaketku berdering. Sebuah sms dari Iza.



Semarang, 12 Maret 2011
Qur’anul Hidayat Idris
(jangan pernah meniru, menjiplak atau mengalih hak cipta karya di sini)

Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!