Gerimis di Dada Iping (Bag. 2)

Jumat, 11 Maret 2011
Share this history on :
(bag. 1, klik di sini)


Sebelum mengenal Iza, kuhabiskan sebagian besar waktuku bersama kawan-kawan yang juga penggemar vespa, menggelandang kemanapun kami mau. Aku sering bolos kuliah karena malam bagi kami adalah siang, haram hukumnya terlelap. Kami bergiliran menyediakan kontrakan atau kosan sebagai tempat nongkrong, tak jarang pesta obrolan berakhir dengan segelas ciu. Rokok? Setiap ruangan bekas kami nongkrong adalah bau rokok, itu adalah nyawa yang lebih kami pilih daripada mengisi perut yang terbiasa kosong.


Aku jarang sekali tahu kalau ada tugas kuliah dari kampus, kalaupun tahu tak pernah kupedulikan. Aku tidak punya dorongan yang jelas untuk mengerjakan semua persoalan akademis yang membingungkan itu. Yang paling aku ingat adalah vespa, dan vespa. Kutemukan diriku dalam vespa abu-abu luntur yang kubeli sangat murah dua tahun lalu itu. Semakin jelek dan luntur warnanya, semakin aku merasakan keberadaanku. Kuhabiskan lebih dari separuh kiriman dari orang tua untuk merawat vespa itu, aku bahkan pernah tidak makan dua hari karenanya.

Enam pacar yang kusebutkan tadi semuanya cewe yang terlahir dari rahim kebebasan, mereka berengsek. Tidak pernah mereka berpikir tentang kejujuran apalagi kesetiaan. Dua diantaranya bahkan tidak sampai seminggu berpacaran denganku. Cewe pertama kuputus karena kepergok berciuman mesra dengan salah satu temanku, padahal dia baru jadian denganku sehari sebelumnya. Yang satu lagi hanya berlangsung lima hari, namun kali ini dia yang memutuskanku karena sudah muak, katanya.

Hidupku sudah lebih baik, kutinggalkan kawan-kawan nongkrongku. Aku lalu mulai serius kuliah dan menemukan teman-teman baru di kampus. Kutinggalkan kosan lamaku dan bergabung dikontrakan Zen, Dika, Mahar, dan Ocim. Kontrakan kami sangatlah murah dengan beberapa bagian atap yang bocor, semakin parah dengan rumput tinggi di halaman. Beberapa kali kami ingin protes dengan pemiliknya, tapi berkali-kali pula kami tunda karena merasa harga kontrakan itu tidak menyediakan ruang protes, kami menerima apa adanya.

Tawa selalu ada diantara kami. Aku mulai mengerjakan tugas kuliah karena didorong dan dibantu mereka. Dengan sebuah gitar kami sudah bisa melepas kekesalan dan kepenatan hidup. aku bersyukur karena mereka bukanlah anak orang kaya, aku tidak suka gaya hidup mereka yang mewah dan serba gampang mendapatkan fasilitas apa pun. Uang sewa kosnya saja lebih besar dari biaya hidup kami selama satu bulan, belum lagi dikurangi bayar kontrakan.

Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti

aku tampak ngos-ngosan masuk ke halaman kontrakan. Ocim dan Zen berhenti menyanyikan lagu Efek Rumah Kaca. Kuparkir vespa di sebelah mereka duduk, sebuah kursi kayu panjang yang kekuatannya sudah diragukan. Mereka mendongak memandangku, setelah itu tertawa. Entah kenapa, aku jadi tidak nyaman.

“nasib, nasib, kehabisan bensin Ping?” Zen menyandarkan gitar di bawah, ia bertelanjang dada dengan sarung sholat yang memang tidak dilepasnya sampai tidur, lalu besok dipakainya lagi buat sholat, dicucinya sebulan sekali. Ia masih menertawaiku perlahan. Sebelahnya, Ocim baru selesai menenggak air putih di botol, ia memakai celana pendek dan kaos putih.
“makanya Ping jangan terus neraktir cewe!” Ocim mengambil gitar.
“Ah, cewekmu matre juga ternyata Ping, kusangka Cuma cewekku aja” Zen kembali tertawa diiringi suara gitar sembarangan Ocim.

Aku langsung tersinggung Iza dibilang matre. Kutatap tajam Zen beberapa detik, ingin kuucapkan sesuatu padanya, tapi kutahan. Aku lalu membanting tubuh masuk ke dalam kontrakan, menuju kamarku. Aku tahu mereka pasti kaget melihat tingkahku yang menanggapi serius candaan. Ditambah lagi, pintu kamar kubanting cukup keras.

Kubuka jaket penuh emblemku, kulempar ke salah satu sudut kamar. Kukeluarkan rokok yang telah patah dari sakuku, tapi untunglah masih menyisakan beberapa senti yang bisa kuhisap. Kuambil korek api kayu yang ada di atas almari dekat pintu, disana terpampang foto Iza bersama dua orang temannya, bukan bersamaku.
Rokok itu masih lembab, kuhangatkan dengan korek api yang menerbitkan bau hangus. Aku tahu diluar telah berdiri Zen dan Ocim yang ragu-ragu ingin mengetuk pintu, kudiamkan beberapa saat.
“masuk!” ucapku dengan nada jengkel

Pintu berderit perlahan, wajah Ocim menyeruak dengan senyum lebar. Aku acuh, masih sibuk menghangatkan rokok. Zen mendorong tubuh Ocim hingga terpental masuk, mereka sepertinya benar-benar merasa bersalah. Mereka berjalan perlahan, lalu duduk berbaris di depanku.

“mau rokok yang bagus Ping?” Zen memulai dengan senyum lebar
“ah parah, nggak bilang kalau punya rokok ya!” Ocim menatap Zen, protes.
“itu!” Zen menunjuk saku Ocim, aku mulai menyalakan rokok yang sudah lumayan kering itu.
“kampret, tak sangkain punya rokok kamu!” dengan agak terpaksa Ocim mengeluarkan sebatang rokok yang masih segar dari saku celananya, menarauhnya di lantai, dekat asbak. “ini Ping, yang bagus!”
Aku tetap diam.
“Ping, maaf ya, mulutku ini memang seenaknya, gak tahu sopan santun, gak tahu orang lagi susah, gak tahu temen sendiri lagi kehabisan bensin. Ping, kulap deh vespamu sampe mentereng, asal maafin ya..!” Zen memelas
“aku juga Ping, maaf karena sudah ikutan si kampret ketawa. Ah, lo mau nyuruh aku ngapain Ping, aku lakuin, suer!”

Suasana diam sebentar, mereka menunggu tanggapanku. Kusedot dalam-dalam hisapan terakhir rokokku yang juga butut, asapnya mengepul kuhembuskan. Aku lalu tertawa, awalnya perlahan, lalu mulai kencang dan semakin keras.

Awalnya Zen dan Ocim heran, lalu mereka juga ikut tertawa. Tanpa komando, kami memenuhi kamarku dan kontrakan itu dengan tawa yang tak jelas ditujukan untuk siapa. Aneh, aku bahkan bisa ketawa.




(Bersambung)


Semarang, 11 Maret 2011
Qur’anul Hidayat Idris

Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!