Romantisme Keli

Jumat, 20 Januari 2012
Share this history on :
Sumber Gambar

14 tahun yang lalu, saat umurku 6 tahun. Ada sebuah ingatan yang menyembul tiba-tiba kemaren. Mengajakku berseluncur kembali pada rentetan katalog ingatan dan memeriksa setiap judulnya. Kutemukan satu judul yang ingin sekali kuceritakan padamu, ingatan bersama Bapak yang ternyata masih jelas sekali. Bahkan, aku seperti menonton sebuah video rekaman, melihat kembali tingkah masa kecilku, Bapak, Emak, dan tiga orang kakak yang memperhatikan hal-hal kecil di kehidupanku sampai sekarang.


Kau pernah dengar Bengkalis? Mungkin ada yang pernah, tapi sepertinya lebih banyak yang tidak pernah mendengarnya.Aku selalu bahagia menceritakan tanah kelahiranku ini, sebuah kabupaten di Riau yang digelar "Negeri Junjungan". Kelahiranku di desa Tameran, sebuah desa sederhana yang penduduknya adalah masyarakat Melayu tulen--silsilahnya belum mengalami campuran. Namun, beberapa tahun belakangan sebuah pemukiman masyarakat Jawa terbentuk di salah satu belahan desa, dan masyarakat hidup rukun, bahkan pernikahan lintas suku pun telah banyak terjadi.

Kalau kau mendengar bahasa Melayu Upin dan Ipin, bisalah kau anggap itu sebagai bahasa yang mirip dengan bahasa Melayu Indonesia yang notabene berpusat di Riau. Tapi sama sekali tidak bisa disamakan, karena banyak aspek kebahasaan yang berbeda. Bahkan, aku sendiri yang keturunan Melayu asli agak kesulitan jika membaca tulisan-tulisan di blog kawan-kawan dari Malaysia. Seperti diketahui juga, kata /seronok/ misalnya, itu tidak ada dalam lema (entry) bahasa Melayu Riau. Itu hanyalah salah satu contoh saja, karena banyak yang menyamakan bahasa Melayu Malaysia dengan Melayu Indonesia. Walau bahasa ini tetaplah berasal dari satu Ibu yang sama yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan, karena setiap pihak menginginkan "titel" tersebut.

Kedua paragraf di atas kurasa lumayan cukup memeberikan gambaran umum tentang tempat masa kecilku itu. Sekarang aku akan bercerita memori apa yang sedang ingin kuceritakan padamu!

Kau tahu atau pernah mendengar kata KELI? Itu adalah nama salah satu jenis ikan yang hampir ada di seluruh Indonesia. (keli itu kalau ketiak kita dipegang-pegang itu kan? itu geli dudul). Keli itu adalah sebuah penamaan yang khas oleh masyarakat Melayu di Bengkalis atau di beberapa daerah lain di Riau. Karena aku tak memiliki data konkret tentang penyebaran penggunaan kata ini, sementara kita anggap saja ini adalah penamaan oleh masyarakat Bengkalis, atau lebih mengerucut lagi masyarakat desa Tameran, tempatku lahir.

Di pulau Jawa keli disebut lele. Aku sendiri baru tahu kata ini ketika di Semarang. Untung saja tak kejadian seperti ini, "Mas, aku pesan keli ya!" Jelas saja pedagang penyetan atau warteg akan kebingungan dan tak menemukan arti /keli/ yang kuminta. Tapi untunglah karena aku pada semester pertama tinggal di Asrama Hang Jebat (sebuah asrama bagi mahasiswa Riau di Semarang), sehingga para abang-abangku di sana memperkenalkan perbedaan-perbedaan kultural.

Lalu apa kenangan berhargaku dengan Bapak yang berhubungan dengan keli? Pada masa itu Bapak sangat hobi memancing. Memancing di sini tidak seperti sekarang di kolam pemancingan, dengan joran  yang elok dan lentur. Bagi kami, memancing dilakukan dengan menggunakan joran yang terbuat dari bambu berdiameter satu telunjuk orang dewasa, panjang sekitar satu setengah meter. Biasanya dipilih yang lentur agar tidak mudah patah. Memasang kailnya pun simpel, diikat di tali nilon lalu dipasang di ujung joran bambu. Umpan biasanya menggunakan cacing tanah.

Lokasi pemancingan ditengah-tengah hutan. Biasanya Bapak mencari parit drainase lahan karet yang jauh ke dalam rimbunan hutan. Parit itu sendiri saling terhubung hingga menuju sungai. Kami menyebut "air keling" karena air di sepanjang sungai tersebut adalah air tawar yang berwarna kecoklatan. Jangan mengira itu air kotor, tapi warna tersebut hanya dipengaruhi tanah hutan yang berwarna coklat. Air ini juga yang menyambung kehidupan masyarakat sana ketika musim kemarau.

"Pak, bile kite mancing!" (Pak, kapan kita pergi memancing?)
"Aghi Minggu ajelah kite pegi ye!" (hari minggu sajalah kita pergi)

Kami anak-anak desa adalah anak yang bermental kuat. Tidak seperti anak-anak kota yang terbiasa dengan mainan robot dan "cengeng". Bagiku ketika itu, berjalan sepanjang dua kilometer di dalam rimbunan hutan, banyak nyamuk, akar pohon melintang di sana-sini, ular, dan monyet adalah kesenangan yang membuatku rindu untuk mengulang lagi.

Tapi sebenarnya bukan hal di atas yang membuatku begitu sering mengajak Bapak pergi memancing. Bukan! Ada hal lainnya yang tak bisa kulupakan selama ini. Itu adalah kebiasaan kami "Belajar Menghapal di Tengah Hutan". Ya, Bapak adalah guru ngaji yang terkenal di seantero desa-desa di Bengkalis, dan ia terkenal sangat "galak" dalam mengajar, juga mendidik anak-anaknya. Beberapa murid Bapak yang lambat menerima pelajaran sampai terkencing-kencing saking takutnya melihat Bapak marah. Tapi apa hasilnya? Rata-rata murid Bapak bisa mengaji lancar hanya dalam waktu 2 setengah sampai tiga bulan. Sekarang, ketika mereka dewasa, bapak sering didatangi dan mereka baru menyadari kegalakan Bapak telah membuat mereka berusaha lebih keras dan tekun, sampai akhirnya tidak ketinggalan dengan murid lain.

Ketika berjalan di hutan, Bapak berada di depan untuk menyisir semak sedang aku coba sedekat mungkin berjalan di belakangnya. Nah, saat itu aku sudah mahir membaca Al-Qur'an dan mulai belajar salat. Bapak pun menyuruhku melantunkan bacaan ayat salat yang telah kuhapal keras-keras dengan dilagukan. Bapak adalah orang yang teliti dalam hal tajwid, sehingga setiap panjang-pendek pengucapanku sangat diperhatikannya. Setelah satu bacaan lancar, Bapak mengajariku bacaan lainnya. Akibat rutinitas itulah aku bisa menyelesaikan hapalan salatku di perjalanan menuju lokasi memancing. Suaraku pun mungkin membuat bangsa halus takut mengganggu kami karena bacaan-bacaan suci itu (hahay).

Bapak dan Aku tidak mempermasalahkan jika kami membawa keli hanya beberapa ekor. Karena esensi yang ingin didapat bukanlah itu, tapi serunya "menunggu". Belakangan aku jadi tak sabar dalam soal menunggu, padahal Bapak jauh hari telah mengajariku kesabaran menunggu. Bahkan sampai beberapa jam aku duduk di depan joran tak ada keli yang memagut umpan, Aku kecil tidak gusar dan tetap sabar menunggu.

Kami juga membawa bekal yang dibuatkan Mak. Masakan Mak adalah nomer satu bagiku, tak ada yang menandingi. Bapak dan Aku saling meraup nasi menggunakan tangan dalam rantang yang kami bawa. Oh, sungguh indahnya!

***

Seorang ayah haruslah menciptakan momen berharga buat anak-anaknya, karena biasanya seorang anak lebih dekat dengan Ibunya. Juga, kreatifitas Bapak mengajariku di setiap momen secara tidak langsung mengasah kemampuan otakku menyerap pelajaran. "Bermain sambil Belajar" itulah yang ia inginkan. Kau tahu? Bapakku bukanlah seorang sarjana atau seorang Profesor. Tapi bagiku, ialah guru kehidupan yang tak sekadar mengajar, TAPI MENDIDIK. Kau tentu tahu bedanyakan?


QHI

Related Posts by Categories

18 komentar:

Shelomita Says:
Jumat, Januari 20, 2012

udah folbek yaaa....seru juga tuh mancing..never done that :)

Kampung Karya Says:
Jumat, Januari 20, 2012

@Shelomita: Thanks

Uswah Says:
Jumat, Januari 20, 2012

owalaaah..baru tau kalo riau juga pake melayu.. seronok seronok seronok :D

enak tuh makan keli,, keli dumbo.. hohoho^^

iyya sepakat,, hidup di desa/kampung itu enak,, tradisional banget hihi

Hanna Ester Says:
Jumat, Januari 20, 2012

IYe kah???
hehehee,,,

Kampung Karya Says:
Jumat, Januari 20, 2012

@Uswah: haha baru tahu ya? Alhamdulillah dah berhasil ngasi tahu.. kekekek.. bener banget, desa menyimpan peninggalan kepurbaan manusia.

Kampung Karya Says:
Jumat, Januari 20, 2012

@Hana Ester: Iye.. betul sangat.. hahaha.. selamat mengunjungi riwayat kecil ini

femalebox Says:
Jumat, Januari 20, 2012

emang harus sabar kalo mancing, benar-benar olah raga jiwa hati pikiran dan perasaan, sabar....sabar.... sampe umpan disambar ikan

Kampung Karya Says:
Jumat, Januari 20, 2012

@femalbox: betul banget, mancing itu seperti meditasi.. hehehe

Uswah Says:
Jumat, Januari 20, 2012

Iyya baru tau.. Hihihi...

Jadi pengen mancing juga :D

Kampung Karya Says:
Jumat, Januari 20, 2012

@Uswah: yang penting sekarang udah tahu... ayook memancing keributan.. hehe *kidding

putuindarmeilita.blogspot.com Says:
Jumat, Januari 20, 2012

Kenapa aku jadi serasa baca buku laskar pelangi. Wkwkwkwk. Tq ya. Aku jadi tahu gimana sebut Lele dengan bahasa lain. Keren lagi, kaya nama tokoh Beverly Hills 90210: Keli. (itu mah, Kelly)

Kampung Karya Says:
Jumat, Januari 20, 2012

@Lita: hihihi... yang penting ketangkep pesannya..
keli itu panggilan abang di Bali ya?

Unknown Says:
Jumat, Januari 20, 2012

hati yang tameran. . .hehehe

waaaah, unforgettable childhood ya mas bro. . .

idih, ngapain tuh mr. bean clingukan di pojokan, uwaaaaa mas bro kepincut sama mr. bean gara2 ngakalin si einstein ya ahahahahaha

Kampung Karya Says:
Jumat, Januari 20, 2012

@Kaito Kidd: yoi mas bro, sejauh apa pun melangkah, kampung halaman tetap di hati hehe

hati-hati lho diintip ama mr. bean, entar dia main tiputipu.. haha tapi kocak banget tuh muka bean

Hairun Nisya Says:
Sabtu, Januari 21, 2012

Emang betul sobat hidup didesa/kampung itu memang indah dan banyak kenangan....

Anonim Says:
Sabtu, Januari 21, 2012

sweet memory wif father...nice story brother..like it ;)

Rima Aulia Says:
Sabtu, Januari 21, 2012

keli=lele..aku ga suka sama ikan itu, pernah punya pengalaman tak menyenangkan dengannya...

Kampung Karya Says:
Sabtu, Januari 21, 2012

@Hairun Nisya: betul, sangat indah
@Zaira: thanks sista..
@Rima Aulia: waw, semoga berdamai dengannya hehe

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!