Seikat Bunga di Depan Pintu

Senin, 12 Desember 2011
Share this history on :
Sumber Gambar

Di hari ulang tahunmu aku ingin sekali memberimu seikat bunga, aku belum bisa membayangkan bunga apa yang akan kuberikan. Terpenting, bunga itu harum, ketika kau menciumnya, saat itulah segenap cintaku masuk ke dalam paru-parumu. Masalahnya aku tidak tahu tentang bunga, jenis manakah yang paling harum baunya. Mawarkah? Tetapi kenapa ketika aku menciumnya beberapa waktu lalu tak ada aroma wanginya. Ah, apa hidungku yang bermasalah?

Aku memutar pedal sepeda mustangku cepat. Butir-butir keringat mulai menyembul, tas sampingku agak membuat kaki kananku kesulitan mengayuh. Aku melihat ke kanan, memastikan tidak ada kendaraan yang bisa menabrakku. Ada sebuah mobil, tapi jaraknya cukup buatku membelok. Aku kini sudah memarkir sepedaku diantara motor di sana. Toko bunga, betapa indah warna-warni di sana. Aku tak tahu apa nama begitu banyak bunga di sana. Anggrek bulanlah yang paling kutahu, karena ketika SMA saudara perempuanku suka memelihatanya di belakang rumah.

"Aku mencari bunga harum buat kekasihku!" Ah, aku terlalu bersemangat ternyata. Bukankah keterangan pada ucapanku itu tidak perlu dan memalukan. Wajah pedagang wanita itu tampak berbinar, tersenyum, agak menyindir kepolosanku.

"Banyak bunga di sini, adik mau yang mana?" Aku lalu melihat ke kiri dan kanan, juga di atas pada bunga-bunga yang digantung. Aku lalu menggaruk-garuk kepala.
"Menurut mbak?"
"Biasanya itu mawar atau melati!" Wanita paruh baya itu lalu mengambil kedua jenis bunga tersebut. Aku menyodorkan hidungku di kelopaknya. Aku tak mencium harum, malah bau asing.
"Bagaimana?"
"Kurang harum mbak!" wanita itu kali ini yang menyodorkan hidungnya.
"Ah, wangi kok!" aku jelas menganggap itu sekadar godaan pedagang, tentu saja ia mengatakan bunga itu harum walau pun sebenarnya tidak.
"Aku lihat-lihat dulu yang lain, boleh?"
"Tentu!"

Aku mencium jenis bunga yang tak kukenal itu. Aku malas bertanya nama bunga-bunga ke wanita itu karena malas mendengar pujian yang menurutku palsu. Aku entah kenapa sangat percaya pada penciumanku, naluriku. Satu persatu sudah kusodorkan hidung, dan tak ada yang harum, bahkan beberapanya berbau busuk. Aku meradang dan bingung.

Aku pamitan dan mengatakan ketidakjadianku membeli bunga di sana. Aku berbasa-basi, "lain kali ke sini kok mbak!" yang diajak bicara pun tersenyum kecut.

Aku tak mungkin tak memberikan hadiah padanya. Akhirnya ditengah perjalanan kuputuskan kalau aku akan memberinya buku saja. Aku pun ke sebuah toko buku. Beruntung, aku mendapat judul yang lumayan mengobati kekecewaanku. Judulnya, "Beri Aku Bunga, Kasih!" Ah, ingin kuucapkan terima kasih langsung pada pengarangnya.

Aku mengayuh pedal dengan hati gembira sekarang. Sudah kulupakan kegagalanku membawakannya bunga. Sekarang aku membawanya bunga dalam bentuk lain, cerita tentang Bunga. Aku mengiriminya sms ketika sudah sampai di depan kostnya. Semenit kemudian ia turun. Ah, selalu di saat begini ia memakai kerudung biru.

Tapi, aku heran di tangan kanannya terpampang seikat bunga berwarna merah, lagi-lagi aku tak mengetahui jenisnya. Aku mulai kecut, pikiranku menjalar kemana-mana. Tapi, ia begitu gembira, tersenyum sambil setengah berlari menuju ke arahku. Ketika sampai ia mencubit lenganku, aku mengaduh.

"Dasar nakal, kenapa tak kau antar langsung bunga ini sayang! Kenapa meletakkannya di depan pintu kost dengan ucapan indahmu itu, dan tentu saja nama indahmu!"

Aku terbelalak tapi tak sanggup merusak senyumnya.


Qur'anul Hidayat Idris

Related Posts by Categories

1 komentar:

Ulul Ilmi Bilqisti Says:
Minggu, Agustus 05, 2012

wah...dr siapa donk bunganya? :)

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!