Satu Kalimat = 50 Ribu

Sabtu, 10 Desember 2011
Share this history on :

Sebelum menjemput Umi aku mampir dulu di warung ketoprak favoritku di Banjarsari. Kawanku satu ini sms saat waktu menyentuh angka 08.31 WIB. Dia tepat waktu ternyata, aku memang mewanti-wantinya agar tidak telat dan akan menjemputnya pukul 08.30. Aku lalu mengirim sms bahwa akan sampai di depan kostnya 10 menit lagi karena ketoprak belum lagi habis dari piring.

Aku bergegas. Membayar dan kembali sebentar ke kostan untuk mengambil helm dan tas. Aku langsung menuju kos Umi yang terletak di belakang toko buku An*ida. Aku mengiriminya sms lagi supaya bergegas turun, ia pun membalas singkat, ia. Saat menunggu aku melihat Nanik dan Hasna masuk ke gang kostan Umi, aku tidak sempat berpikir karena dalam hati menggumam. "Lha kok? Nggak langsung ke pom bensin?" Kami emang janjian untuk berkumpul di pom bensin depan GSG (Gedung Serba Guna) Undip. Nah setelah mereka lewat dan masuk ke area kostan, aku tak lagi melihat mereka karena aku memberhentikan motor agak jauh. Tapi sayup-sayup terdengar.

"Dayat mana?" Terdengar suara Umi sayup.
"Lha belom kesini tho?" Kini Nanik balik bertanya.
"Lha katanya dia udah di depan!" Lanjut Umi
"Gak liat tuh!" Jelas Nanik lagi.


Aku yang mendengar dialog itu jelas berang. Orang segede gini nggak terlihat itu kan namanya ajaib. Tanpa menghiraukan ketertiban makhluk kostan yang mungkin masih tidur, aku berteriak. "UMIIIIIII, DAYAT DAH DI SINI!" Mereka kaget lalu berjalan mendekat ke arah suara, bukannya memberi sedikit rasa iba, mereka malah terpingkal-pingkal. Sudahlah!

Kami pun berangkat, Umi kubonceng pake Si Boy--motor bututku. Mendekati pom bensin, Ipul mulai terlihat. "Um--panggilan Umi--kamu ama Ipul aja, takut motorku gak (gak nya sekali aja OK!) kuat!" Aku langsung menjelaskan dengan wajah meyakinkan ke Umi. Akhirnya kini aku melenggang sendirian. Tapi sebelum berangkat ada kondisi mengkhawatirkan.

"Kamu tahu gak  Has lokasinya?" Aku bertanya.
"Wah gak paham!" Aku tambah khawatir.
"Kamu Pul?"
"Gak tahu ik mas!" (Aduh!)

Sekarang harapan tertumpu pada Alfu yang menunggu di kampus Undip Pleburan--karena rumahnya di daerah Semarang bawah. Kami pun mulai melakukan perjalanan menuju kampus bawah. Ipul membuatku kesal, sudah tahu Si Boy tidak lagi muda, ia mengajakku balapan, jelas saja aku tertinggal. Aku pun memutuskan untuk santai saja. Sesampainya di lokasi Alfu sudah menunggu, tiba-tiba Umi nyeletuk.

"Kamu ama Alfu aja yat, pake motor Dia!" Aku berpikir, jelas ini solusi yang tepat karena takut Si Boy bermasalah karena perjalanan jauh.
"Ok, tapi motorku ditaruh di mana?"
"Di kostan temenku saja!"

Aku pun memboncengi Alfu dengan Be*tnya. Alfu menyarankan untuk lewat Pasar Johar bila mau ke Terboyo. Kami pun melewati pasar tersebut, lalu tak berapa lama tampak di kiri jalan Unissula (Universitas Sultan Agug) Semarang. Akhirnya kami pun melihat sebuah plang bertuliskan "Suara Merdeka". Walau agak kebablasan beberapa puluh meter, kami tak berapa sulit putar balik dan masuk ke dalam area parkir kantor koran kebanggaan masyarakat Semarang itu.

Dari satpamnya kami tahu acara "Ngobrol Seru Bareng Gol A Gong" diadakan di lantai 3 kantor Suara Merdeka. Saat menaiki tangga kami sudah mendengar suara lewat pengeras suara, ternyata acara sudah dimulai. Setelah registrasi kami mulai masuk ke dalam aula tersebut, sebuah mmt dan seratusan orang sudah ada di dalam ruangan tersebut. Gawatnya kursi yang tersedia di bagian belakang tidak cukup dengan jumlah kami, untung berkat "ketakberuratmalu" kami mencomot beberapa kursi kosong di celah para penonton, diangkut ke bagian belakang. *malunya baru berasa sekarang, hahaha

Acaranya baru dibuka, untunglah. MCnya mulai membuat suasana nyantai, bisa menguasai penonton dengan banyolan kecilnya. Setelah itu acara pun masuk ke acara inti. Gol A Gong mulai maju ke depan peserta workshop--siapa Gol A Gong? klik di sini. Gong--sapaannya--mulai bercerita tentang Rumah Dunia yang dibangunnya di Banten. Lalu ia pun mulai bercerita bahwa sewaktu berumur 11 tahun ia terjatuh dari pohon dan mengakibatkan tangan sebelah kirinya harus diamputasi setengah. Sang ayah lalu mengajaknya ke Pasar Senen--di Serang, tempat penjualan buku--untuk membeli beberapa buku, si Ayah lalu berkata.

"Bacalah buku, kamu akan lupa segala kekuranganmu!" Kalimat inilah yang menginspirasi Gong. Ia lupa dengan kondisinya yang cacat, ia lalu mencoba membuat komik, membaca banyak literatur.

Lalu ia mulai membaca beberapa deskripsi menurutnya tentang buku yang terpampang di layar proyektor.

"Buku adalah wanita, maka nikahilah!" (penonton cewe heboh teriak-teriak)
"Buku adalah sampah, di dalamnya terdapat kompos!"
"Buku adalah racun, maka temukanlah penawarnya!"
"Buku adalah jiwa, MAKA DIRIKANLAH PERPUSTAKAAN!"

Di tengah keberkhusukan menyimak, tiba-tiba Gong membuat kejutan. Ia akan menghadiahi 1 buah buku terbarunya "Menggenggam Dunia" kepada peserta yang mampu membuat deskripsi tentang buku terbaik. Tentu saja aku terpancing, tapi belum menemukan ide, sedangkan beberapa peserta sudah mulai unjuk kebolehan. Seketika secara tiba-tiba................ Slazzz cliiingg *biar dramatis
aku mendapat ide dan mengacungkan tangan, si MC melihat dan memberikan mic.

"Buku adalah tanda, maka pahami maknanya!" Sepertinya Gong kurang mendengar, ia meminta. "Ulang sekali lagi!". Aku pun mengucap keras. "BUKU ADALAH TANDA, MAKA PAHAMI MAKNANYA!"
Selanjutnya, 15-an peserta setelahku mengadu bakat merangkai kata, ada yang lucu juga.

"Buku adalah masakan, maka temukan resepnya!"
"Buku adalah teka-teki, temukan resepnya!"

Semua jawaban bagus, sehingga aku sudah pesimis dan menyerahkan pada takdir dan keputusan Allah. Saat pengumuman Gong menyerahkan jawaban ke Triyanto Triwikromo--pemred budaya Suara Merdeka. Dia pun berucap.

"Yang buku adalah tanda, maka temukan maknanya!" ucap Triyanto, walau kutipannya tidak terlalu pas tapi aku sudah tahu bahwa itu kalimatku, dan YEESSSSSSSSS!

Aku pun disuruh maju mengambil buku yang diserahkan langsung oleh Gong. Ketika kembali ke tempat semula aku ditaburi ucapan selamat, tapi tetap ada hal nyesek.


"Nanti aku cap buat Hayamwuruk ya!" Aku perhatikan wajah Hasna, sepertinya serius (Perlu diketahui, Hasna adalah staf Litbang LPM Hayamwuruk, dan dia mengurusi pusat informasi organisasi kami, termasuk buku. Nah dia sekarang punya kebiasaan baru, mencap buku pengelola agar koleksi Hawe bertambah. Yassalaam)
"Pikir-pikir dulu ya!" Aku pun menjawab diplomatis.. *nyesek level dua


Sudah kuputuskan buku ini tidak akan kuhibahkan ke Hawe karena nilai historisnya--di dalamnya ada tanda tangan Gol A Gong. Aku hanya akan membuka sesi meminjam *ekspresi seram.

***

Dibalik semua kejadian di atas kawan. Ada hal menggugah dan menarik yang kupelajari hari ini. Setelah kuketahui, buku yang kudapatkan dari Gong itu harganya 50 rb. ITU KUDAPATKAN DENGAN SATU KALIMAT. Perhatikan! betapa mahalnya kata-kata, tentu saja kata-kata juga punya nilai (berkualitas atau tidak). Bayangkan dengan 1 juta kalimat, bukankah itu akan mengantarkanmu pada kejayaan. Kita harus realistis, kata dijual untuk dibaca dan pembaca pun punya hak untuk MENGHARGAI jerih payah pengarang. Di balik itu, semua harga itu belum dihitung dengan MANFAAT KATA-KATA yang tentu saja tak ternilai harganya.

Mahalkah kata-kata?
MAHAL.

Bisakah kau "Menggenggam Dunia" dengan kata?
Bisa

(Berkah lain acara ini juga adalah makan siangnya yang mewah. Itung-itung perbaikan gizi anak kost :)


Qur'anul Hidayat Idris

Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!