CERMIN

Selasa, 23 Maret 2010
Share this history on :
Selalu saja begitu, malam yang larut senang menggoda orang-orang untuk menyemayamkan tubuh dalam lelap. beberapa warung yang sengaja buka hingga subuh masih coba bertahan menghiasi beberapa sudut kota yang seharian lelah bekerja. Tentu saja, selalu sepi pelanggan. Kopi panas adalah menu andalan, karena memang banyak orang yang percaya dengan minum kopi dapat mengurangi kantuk.

Tempat ini jauh dari warung malam, tidak adalagi keramaian diatas jam 00.00. semua hanya sibuk menonton skenario mimpi. Lantas apakah malam ini semuanya diam dan membisu diwajah selimut gelap. Tidak, ada yang masih meramu malamnya dengan detak jantung mulai berlari cepat. Dahi basah keringat dalam dingin. Entah apa yang ingin dilakukan perempuan yang matanya menyimpan ketakutan. Sudah dari beberapa menit yang lalu ia menutupi dirinya dengan jongkok dibalik sebuah pohon besar di tepi jalan.

Tampaknya ia sedang memastikan keadaan, beberapa kali wajahnya keluar dari balik pohon, masih menyimpan ketakutan dan keraguan. Setiap bunyi yang secara tiba-tiba muncul tak ayal membuat ia tersandar di tubuh pohon yang sudah penuh oleh spanduk yang tanpa permisi terpaku. Darahnya bergerak cepat, menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Namun, ia hanya mendapati seekor tikus sebesar kucing yang berlari menyeberang jalan, panik karena telah menjatuhkan kardus di atas tong sampah penuh.

Ia mulai bersiap untuk keluar dari persembunyian. Ketakutan dimatanya kini berganti dengan harapan. Perlahan ia mengendap dengan masih tetap melirik cepat kanan dan kiri. Semakin lama kepercayaan itu mulai muncul, ketenangan dan harapan berpadu menjadi sebuah kekuatan. ia bergerak cepat dengan mata yang tertuju pada sebuah benda. Tergantung di tiang sebuah gubuk. Langkahnya semakin cepat hingga ia menyentuhnya. Sebuah cermin.

***
Didalam kelas yang berisi 70 orang manusia, hawa pengap dan panas jelas terasa. Beberapa orang mahasiswa tak tahan, dikibasnya buku dengan melebarkan celah kerah baju mereka. Tidak berbeda dengan dosen yang kemeja rapinya telah lembab dengan keringat. Inilah ruang perkuliahan tanpa AC, hanya kipas-kipas kecil diatas langit-langit yang berputar tak meyakinkan.

Perkuliahan harusnya sudah dibuka 15 menit yang lalu, tapi apa daya masalah baru yang memperlambat muncul, antara laptop dan proyektor tidak bisa terhubung. Dahi sekretaris dosen yang membantu saat itu sudah limbah keringat, kedua alisnya pun beradu merapat, menandakan ia tengah kebingungan berat. Sampai saat ini, sudah dua orang mahasiswa laki-laki yang coba membantu, tapi, tetap hasilnya nol.

.lihat, nenek baru datang tuh!!”

Salah satu mahasiswa tiba-tiba memekik, memecah suasana yang sebentar tadi diam dalam tunggu. Pandangan kini tertuju pada sebuah arah dengan telunjuk yang tepat menghadap keluar kelas. Wajah Pemekak itu penuh semangat, layaknya itu adalah waktu emasnya dan ia terlihat betul-betul merasa beruntung.

Beberapa detik kemudian tawa pun lepas menyeraki ruangan yang bertambah pengap, lalu menyeraki seorang perempuan didepan pintu yang tersampuk malu. Ia baru menyadari kalau tawa itu ditujukan kepadanya. Belum lagi nafasnya teratur karena telah berlari mengejar waktu telat yang sudah berjalan semakin maju, kini ia mendapati dirinya dikelilingi suara tawa terseling ejekan-ejekan. Tak ada gerakan, ia semakin terpuruk dalam perasaannya yang berkecamuk.

Tawa belum lagi reda, masih sibuk terkapar di lantai sambil menjelir-jelirkan lidah. Entahlah, wanita itu tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Ia mencoba melihat dosen, tapi yang didapatnya hanyalah manusia intelek yang sedang sibuk dengan urusan laptopnya. Kepalanya juga kini tertunduk setelah tahu kalau Wati teman baiknya hanya bisa diam dengan wajah yang meringis. Senyum yang didapatnya pun adalah senyum yang jelas-jelas berkata “.Aku juga malu!”

Sungguh ia ingin terlihat tegar, kuat dalam menghadapi situasi ini. Namun perasaan tidaklah bisa kita atur dalam bentuk narasi sederhana. Perasaan adalah air yang mengalir, memanas, menguap dan mengembun. Perasaannya kini bercampur didalam wadah yang siap menumpahkannya, menyeraki di lahan-lahan matanya yang tidak sanggup untuk membendung aliran perasaan itu. Air itu menghujam, tetes kecil telah jatuh dalam linangan. Airmata yang tumpah, memang tidak bisa terbendung bantah, meluah.

Jiwa yang kalut. Perempuan berambut hitam panjang itu memutar keinginannya untuk kuat. Matanya kini berisikan ketakutan. Sampai titik ia tidak bisa menahan lagi, lari lah salah satu cara yang ia lakukan untuk menjauhkan dirinya dalam peluru tawa yang tak henti-henti menghujam. Dibawanya beserta airmata yang mulai setitik jatuh di lantai atau pun dalam rengkuhan jemarinya yang kini basah.

Pelariankah disebut ini. Perempuan yang wajahnya menyimpan coretan kelam masa lalu yang terhampar. Sering ia berkecamuk dalam perasaannya seperti air itu. Apabila penerimaan itu datang maka akan mengalirlah airnya ke muara yang lebih tenang atau ketika air itu didihkan sehingga memanas, maka ia pun terlempar dalam amarah atau pun euforia semangat yang berkobar. Atau yang kini menjadi prihalnya, perasaan itu menguap, ingatan lama tentang coretan yang masih berberkas itu mencuat dialmari catatan kehidupannya. Dan terpaksa ia pun harus mengotori catatan itu dengan airmata.

Semua tempat disesaki oleh mahasiswa mau pun semua civitas akademika yang sedang aktif. Perempuan itu menyembunyikan dirinya dalam sebuah WC kampus yang beraroma pesing dan kotoran yang tidak dibersihkan sempurna. Ia tidak perduli, ini saatnya ia memendam dirinya dalam kesendirian. Ya, teman yang paling bisa mengerti dirinya sekarang adalah dirinya sendiri. Yang selalu membujuknya untuk meredam air dalam dirinya yang mulai mendidih.

Disandarkannya dahi ke dinding dengan air mata yang kini mengalir lebih kencang. Tangisannya tidak bersuara, hanya matanya berisyarat kedalaman perasaan yang lebur, hancur dengan tumpukan derita. Jari-jarinya pun kini malas menyeka air matanya yang jatuh tak berbendung di lantai WC. Tidak ada tempat mengadu, tidak ada tempat berbagi air mata. Tidak ada tempat menyulam kata yang keluar dari hingar bingar perasaan.

Perempuan itu seperti teringat sesuatu, dengan cepat diambilnya tas sandang hitam yang dipakainya. Lalu dengan tergesa-gesa ia membuka setiap ruangan tas tersebut. Matanya mekar, entah apa yang diharapkannya. Tangannya merogoh cepat. Sepertinya ia lupa dimana ia menyimpan sesuatu yang dicarinya.

Perempuan itu berhenti, tangannya telah memegang sesuatu. Entah kenapa kini ia berat untuk menariknya keluar. Tanpa sadar, air mata yang tadinya telah mulai lenyap kini mengalir lagi dimatanya, kembali disandarkannya dahi ke dinding WC hingga beberapa saat kemudian ia merasa yakin kembali. Ditegakkannya kepalanya dengan berat dengan pandangan yang kembali tertuju pada tasnya yang keras terapit diselengkangan tangan dan dadanya.

Tangannya kembali masuk dalam ruangan tas, persis seperti tadi saat ia menemukan sesuatu tersebut. Keyakinannya sedikit terkumpulkan. Perlahan ditariknya sesuatu itu keluar dari tas. Sebuah benda sederhana pun mencuat dari dalamnya. Namun benda ini tidaklah sederhana ditangan perempaun yang wajahnya menyimpan ketakutan melihat benda ini, seperti benda ini adalah belati yang siap menusuknya kapan pun . Dipegangnya benda itu kecil berbentuk hati itu agak jauh dengannya. Perlahan diangkatnya keatas, sejajar ke arah wajahnya.

Cermin, itulah benda kecil yang kini dipegang dengan tangan kirinya itu, wajahnya semakin menyimpan keraguan dan ketakutan. Namun di balik hatinya paling dasar keinginan itu tidak bisa ditahannya. Tangannya seolah-olah digerakkan kekuatan tak bernama yang ada dalam dirinya, menyembur keluar dan memaksa tangannya yang sebelah kanan mendekat pada cermin berbentuk hati yang masih tersimpan dibalik tutupnya. Wajahnya antara menentang dan mengiyakan kekuatan tersebut yang semakin ganas mengombak-ngombak nalurinya.

Tangan itu menyentuh bibir cermin berbentuk hati. Semakin berat ia menarik penutupnya keatas. Sebuah kaca kini muncul. Lalu, perempuan itu merasakan tangannya mulai menggigil, juga kakinya yang mulai tidak mampu menopang tubuhnya. Udara yang dihirupnya bagai panah beracun yang membuat nafasnya bergelombang semakin tak tenang. Lampu WC dirasakannya mulai redup, redup, meredup dan mati. Ia linglung, dan gelap pun menyertaninya seiring dengan bunyi benda jatuh yang melengking

***

JUN,, Juna,, ayo bangun Juna, ini aku, sadarlah!!” Wati menampar-nampar tubuh Juna yang kusut. Baju warna coklatnya kini basah. Terlihat kekhawatiran yang teramat sangat di wajah Wati, di pijitnya tangan Juna yang terbaring di atas kasur dalam kamarnya.

Akhirnya, mata Juna yang lama terpejam mulai menandakan adanya cahanya yang memuncah. Perlahan matanya terbuka, tak ayal Wati yang menunggu itu sejak tadi bersorak senang dalam hatinya. Kembali nama Juna dipanggilnya berulang kali, sambil setengah jongkok dan tangannya yang menggoyang-goyangkan tubuh Juna.

Wati!!” Juna menubruk tubuh temannya itu, Wati dengan siap menyambutnya dalam pelukan hangat, pelukan seorang teman. Juna kembali menangis, ia terisak di atas pundak Wati yang tidak mau langsung mengganggunya dalam larutan perasaan. Sungguh ia sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada temannya itu, namun ia sendiri tidak bisa berbuat lebih, hanya pelukan dan kata-katanyalah yang bisa ia luncurkan.

aku merasakannya Jun, janganlah kau bersedih lagi” Wati akhirnya memberanikan diri membuka omongan setelah melihat Juna semakin larut dalam kesedihan dan terus menangis dipelukannya. Dengan lembut di lepaskannya pelukan Juna dan dipeganganya kedua pundak temannya itu. Mereka kini berhadapan dan saling bertatapan. Terlihat wajah Juna yang telah lembab oleh airmatanya.

.tatap aku Jun, janganlah kau malu!!” Wati menjadi tak tahan melihat Juna yang menunduk.
setelah aku pulang kuliah tadi pagi, aku pergi ke kosanmu dan kau tidak ada di tempat. Aku menjadi panik dan merasa khawatir tentang keberadaanmu. Kucari kau di warung tapi tidak ada. Hingga akhirnya aku teringat untuk melihat di kampus. Aku teringat kalau dulu kau pernah seperti ini, dan bersembunyi di WC. Kutemukan kau Juna, tapi dalam keadaan pingsan seperti ini.” Lanjut Wati yang menatap lekat wajah Juna yang mulai merasakan kehangatan seorang teman. Wajahnya pun mulai bisa diangkatnya menatap mata Juna.

.maaf Wat, aku merepotkanmu lagi!!” Juna berucap pelan, mungkin tenaganya telah banyak lesap dengan banyak kejadian yang dialaminya dari pagi hingga malam ini. Wati lalu tersenyum menanggapi ucapan Juna.
aku inikan memang tercipta untuk direpotkan olehmu, iyakan Jun, kau yang mencandaiku waktu itu. Tapi aku siap untuk kau repotkan.” Ujar Wati dengan senyum yang mengembang dibibirnya. Tangannya dengan cepat menyeka sisa air mata Juna yang menempel di kedua pipinya. Melihat perlakuan tersebut, Juna bisa menghadirkan senyumannya, walau terlihat ragu-ragu.
Nah, gitu dong..!!” lanjut Wati dengan keceriaan diwajahnya, dan ia pun menggoyang-goyangkan pundak Juna yang tertular energi positif.

Wati lalu mengambil gelas yang telah diisinya air putih, tepat di meja belajarnya. Ia pun memberikan air itu kepada Juna yang meminumnya dengan cepat. Jelas ia terlihat sangat kehausan setelah sekitar tujuh jam pingsan di dalam kamar mandi.

Kau tidur disini saja malam ini, besok pagi kuantar kau pulang!!” Wati kembali duduk disebelah Juna yang wajahnya mulai segar.
aku merepotkanmu lagi Jun..” Juna memandang Wati malu-malu.
Dengan cepat Wati merangkul Juna “sudah kubilang kan, itu memang tugasku, hahaha” Wati tertawa dalam perasaan senangnya melihat Juna yang sudah tenang. Juna pun bisa tersenyum lebih lebar.

***
Cermin yang tergantung itu dipegangnya lembut, lalu sedikit dikibas-kibasnya kaca itu dari debu yang menempel. Malam memang gelap, dan cermin itu tidak bisa memantulkan bayangan, apalagi gubuk itu gelap diluarnya, tanpa cahaya. Perempuan itu mengeluarkan sebuah senter dari saku celananya, senter kecil sebesar korek api. Disorotnya kaca yang gelap itu.

Kaca itu membiaskan bayangan setelah disenteri, ia pun dengan tidak sabar melihat wajahnya dikaca tersebut. Senyumnya mengembang. Terlihat kalau ia sedang sangat menikmati pemandangan wajahnya yang lain. Wajahnya yang tak ia lihat dalam cermin lain. Tanpa kerutan dan keriput luka bakar yang memenuhinya.

Cermin kadang berbeda, dunia yang baik dan buruk terpancar. Begitu juga pencerminan yang baik dan buruk terungkap. Cermin ini menyoroti wajahnya yang kini dipenuhi kegirangan yang teramat sangat. Sebentar saja, setelah itu ia harus menemui cermin yang dianggapnya PEMBOHONG.

Semarang, 14 Maret 2010
Qur’anul Hidayat


Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!