Sumber Gambar |
Gol A Gong menjadi seorang penulis terkenal lewat Balada Si Roy, Kupu-kupu Pelangi, Pada-Mu Aku Bersimpuh, dan banyak karya lainnya--di buku autobiografinya Menggenggam Dunia disebutkan kalau karyanya sudah berjumlah 90 buku termasuk di dalamnya novel, cerpen, naskah drama, dan buku praktis menulis. Melalui buku perjalanan hidupnya Gong menyebutkan kalau ia sudah membaca segala jenis buku dari sejak kecil. Sampai sekarang pun ia terus meneruskan hobinya itu, menginspirasinya untuk membangun perpustakaan rumahan, Rumah Dunia.
Ada refleksi yang kuat dari sepenggal kisah di atas. Untuk menulis juga dibutuhkan senjata, bukan pedang atau pun sebilah golok, tapi BACAAN. Satu buku--100 hlm--menyimpan 1 milyar kata, misalnya. Jika membaca 100 buku, maka tidak menutup kemungkinan ribuan kata baru terkonversi dalam otak. Itu baru 100 buku. Inilah senjata bagi penulis, kata-kata yang berseliweran di dalam kepalanya itu siap diambil kapan pun. Seperti mesin ATM, tinggal masukkan kata sandi (baca: kebutuhan kata) maka ia akan meluncur dan diinstruksikan pada tangan yang melakukan perintah pada tuts-tuts komputer, software membaca perintah. BUM. Jadilah!
Jangan memilih bacaan. Menurut Gong tidak ada penulis yang meniatkan tulisannya untuk keburukan, yang membedakannya hanya pada cara pandang, karena kebenaran itu tidak akan mutlak. Ketahuilah sedikit tapi banyak. Apa maksudnya? Ketahuilah segala macam ilmu, walau pun hanya sedikit tapi tidak akan menjadi buta, bisa keluar di dalam situasi apa pun.
Pun ketika menulis. Untuk menulis novel misalnya, tidak mungkin kita hanya menciptakan semua tokoh dengan karakter sama, latar itu-itu saja, variasi cerita mirip, dsb. Itu menyebabkan penulis menjadi seperti "katak dalam tempurung", yang diketahuinya hanyalah versi darinya, atau versi dari bangku sekolahan. Sebaliknya, buku menciptakan perpustakaan tak terhingga yang secara tiba-tiba bisa keluar, layaknya de ja vu, menciptakan variasi, kreatifitas, dan keberagaman persoalan dalam tulisan.
Dalam buku autobiografi juga Gong menyedihkan budaya membaca masyarakat Indonesia. Ia membandingkannya dengan masyarakat Jepang yang saat dikunjunginya pada tahun 1990-an membuatnya takjub. Jika ia berjalan di pusat-pusat perbelanjaan, di rute transportasi mau pun di perumahan, ia akan menemukan banyak orang yang sibuk menunduk mengeja huruf-demi-huruf dari buku, koran, atau pun komik. Sedangkan di Indonesia, membaca sepertinya menjadi budaya eksklusif "hanya bagi kalangan terdidik dan pendidik". Itu menunjukkan budaya membaca di sini belumlah menjadi budaya kolektif.
Kalau diusut, bisa jadi akarnya berawal dari lemahnya pendidikan dan tertutupnya masyarakat tradisional yang terpaku pada hal klenik dan sinkretisme. Atau, lemahnya perekonomian bangsa ini. Logikanya, membaca buku butuh biaya, dan menjadi naif dan mengada-ngada jika mereka membeli buku tapi tidak pasti bisa makan atau tidak.
Perpustakaan kita juga sepertinya terlalu asing bagi pemulung, pengemis, dan masyarakat kecil lainnya. Atau kalau ditambahkan, masyarakat kita masih banyak yang buta baca, sehingga keterbelakangan dan kebodohan merajalela. Kata orang buku jendela dunia, bagaimana membuka jendelanya jika kuncinya (baca: cara baca) tidak dimiliki.
Menunggu pemerintah? Saat ini terlalu riskan untuk menunggui pemerintah yang lebih senang bersolek dan menata citra diri. Heh, kita sudah kadung tidak lagi bisa memercayai pemerintah. Bagaimana bisa? Muak. Para pejabat hanya berbaik hati ketika akan meminta kita mencontreng "lubang hidungnya", tapi apa mau dikata, kekuasaan yang jadi tujuan utama adalah madu, dan madu membuatnya ingin menikmati sendiri, tak mau berbagi, dan lupa segala janji. Ohhh. Yang miskin tetap atau bertambah miskin. Mereka? Cek saja rekeningnya.
Harus ada pergerakan dan kerelawanan. Itulah yang diungkapkan Gong. Ibaratnya, masayarakat untuk masyarakat, Rumah untuk beberapa rumah, itulah Rumah Dunia. Gong membuat perpustakaan sederhana dibelakang rumahnya, memberikan akses gratis bagi masyarakat sekitar untuk dapat membaca apa saja yang ada di sana. Tidak hanya itu, ia juga mengentaskan kebodohan dengan pelatihan-pelatihan. Membuat gembira hati rakyat yang terlanjur kesepian menunggu "seulas nasi" dari pemerintah dengan pementasan seni; teater, baca puisi, dan menyanyi.
Gerakan inilah yang ingin diwabahkan Gong. Itu sudah lumayan berhasil, lewat TBM (Taman Baca Masyarakat)nya yang sudah menyebar di 5000 desa. Tapi itu masih sangat kurang, karena desa di Indonesia berjumlah 70.000-an. Betapa mulianya pekerjaan ini. Anda bisa mengunjungi rumah dunia, di sini.
Goalnya tentu apa yang saya sebutkan di atas. Setelah budaya membaca bangsa ini bagus, maka kita tidak akan susah menemukan pengarang-pengarang hebat yang bahkan berumur dari usia kanak-kanak. Membacalah solusi memperbanyak khasanah karya anak bangsa di rak-rak buku dan tentu saja membuat masyarakat minimal terbebas dari kebodohan.
QHI
0 komentar:
Posting Komentar
Selesai baca, tinggalkan jejak ya!