Sumber Gambar |
Aku melewati jalan itu kembali. Petang belum lagi benar-benar tiba, sisa gerimis yang baru berhenti beberapa menit yang lalu masih terasa di ujung kepalaku. Tak ada angkot yang lewat, tak seperti biasanya mereka masih beroperasi 1 jam lagi. Supir angkot lebih sering memilih mogok karena pembagian jurusan operasi yang tidak jelas dan harga bensin yang semakin tak seimbang dengan pemasukan mereka.
Beberapa tanjakan yang cukup terjal berhasil kulewati. Otot perutku menegang dan betisku agak mulai keram. Aku berhenti sejenak memegang perutku. Kini tak ada lagi sisa gerimis, yang ada sekarang hanyalah keringat yang merembes ke pelipis dan dahi. Aku menegakkan wajah, melihat ke depan, mendapati masih lumayan jauh jarak yang harus kutempuh.
Aku kembali menggerakkan meter per meter agar jarak itu semakin dekat. Betapapun kuratapi keletihan ini, itu sama sekali tidak akan merubah apa pun. Kata orang segala sesuatu itu butuh "bergerak", karena berdiam adalah cara menyia-nyiakan waktu yang tak pernah diam.
Di persimpangan empat itu, tepat di jalurku berjalan. Seorang wanita berjilbab biru dengan jaket hitam tampak resah. Mukanya kelam, yang ditungguinya seperti tak pernah datang padanya. Aku tak berniat berhenti, tentu saja. Di kota besar aku tidak bisa sembarangan memberikan perhatian pada seseorang, karena bisa jadi malah kesan negatif yang kita dapatkan. Rasa curiga telah membesar sehingga meruntuhkan budaya sekadar saling sapa, yang telah berabad-abad sebelumnya melekat dalam diri orang Indonesia. Aku pun terus melangkah.
"Mas!" Aku berhenti, kucerna suara itu. Ya, aku yakin itu suara wanita yang sudah kulewati tadi.
"Ya!" Aku berbalik
"Maukah menemaniku di sini, menunggu seseorang tiba. Aku takut, hari keburu gelap." Astaga, ia begitu polos, wajahnya penuh pengharapan. Aku tak sanggup menolak.
"Siapa yang mbk tunggu?" Tanyaku sambil mendekat, berdiri sejajar di samping kirinya, menghadap jalan yang sudah mulai sepi.
"Aku menunggu orang yang tak mau menyebutkan namanya, katanya dia akan menjemputku di jalan ini, tapi sudah satu jam lebih belum juga datang!" Ia menatap mataku, tajam.
"Sudahkah mbk menelepon orang itu?"
"Katanya aku tidak boleh menghubunginya, ia akan memberiku kejutan."
"Ah, mungkin dia lupa jalannya!" Wanita itu tampak berpikir.
"Apa aku hubungi dia saja ya Mas?" Ia kembali menyorotkan sikap polos.
"Ia Mbk, kejutannya belakangan saja!"
"Tapi.. Aku takut nanti dia marah?"
"Kalau dia sedang dalam kesulitan, malah tambah runyam Mbk!" Aku tersenyum, coba meyakinkannya.
"Oke oke" Ia membuka tas berwarna hitam kecil yang ia pegang, mengeluarkan ponsel, mencari rangkaian nomer dan mulai menjatuhkan benda kecil tersebut ke telinganya.
Ah, kebetulan sekali, ponselku bergetar. Aku mengangkat tangan sebagai simbol untuk agak menjauh darinya, membelakinya agar suara telponku tak mengganggunya.
"Halo!" Sambutku agak pelan.
"Aku sudah di tempat, kamu di mana?"
"Sudah di tempat?"
"Kau lupa ya?" Aku heran, suara itu seperti barusan kudengar.
"Halo!"
"Halo Halo!"
Aku berbalik, dan telpon itu dari wanita yang kini menjatuhkan ponsel ke trotoar jalan.
Qur'anul Hidayat Idris
1 komentar:
Senin, Januari 18, 2016
I found your this post while searching for some related information on blog search...Its a good post..keep posting and update the information.
Posting Komentar
Selesai baca, tinggalkan jejak ya!