1 Buku Murah Melayang-layang Sampai Terngiang Tak Bisa Hilang, OOH

Rabu, 15 Desember 2010

Sebagai mahasiswa yang tidak berpenghasilan sendiri alias masih bertumpu pada subsidi orang tua, kebutuhan membacaku harus terpenuhi dengan melakukan berbagai macam cara, termasuk hunting semua tempat penjualan buku murah dan pameran-pameran. Tapi hari ini sampai ketika tulisan ini kuketik, hatiku benar-benar terombang-ambing oleh rasa kesal, iba, sedih dan segalamacam rupa negatif, semua berpunca pada kegagalanku mengunjungi sebuah pameran buku luar biasa di semarang. Parahnya lagi, ini adalah hari terakhir pameran setelah dibuka beberapa minggu, duh.

Promo pameran ini yang berlokasi di Admiral--tempat penjualan pakaian, lupa alamatnya--sudah kuketahui bahkan sebelum pameran berlangsung. Namun ini digagalkan oleh beberapa hal. Pertama, acara workshop salah satu organisasi kampus selama tiga hari. Kedua, jadwal kuliah disambung latihan teater empat kali seminggu. Ketiga, ketiadaan armada--motor--yang membuat aku harus menawarkan bantuan pada beberapa teman yang apesnya tidak ada yang berkenan dengan berbagai alasan wajar. "ah day, aku harus kesini!", "udah empat kali aku kesana day! bosseen" atau yang memang tidak berminat dengan yang namanya BUKU.

dan malam ini aku benar remuk 'BUKU MURAH MELAYANG-LAYANG SAMPAI TERNGIANG TAK BISA HILANG'

Namun, semua hal pasti mengandung segi positifnya, itulah yang kurasakan setelah lalu melihat ke kedalaman isyarat yang terjadi hari ini. Setidaknya aku mencintai buku dan berkeinginan besar menyingkap tabir rahasia dalam setiap untai baris bahasanya. Setidaknya aku memperbesar ledakan untuk berikutnya secara lebih ekstrim berjuang untuk mendapatkan buku-buku--bukan mencuri, hehe.



Sekarang ini buku memang semakin banyak dengan berbagai disiplin ilmu. Namun kehadiran buku tidak dibarengi dengan antusiasme yang besar dari konsumen buku. Alhasil, buku hanya jadi pajangan yang setelah itu basi di rak-rak penyimpanan atau lenyap dimakan rayap. Hm, atau memang ada yang salah dengan euforia penerbitan di negeri kita, hanya asal terbit tulisan yang secara kualitas belum bisa dikatakan layak, apalagi sekarang tengah berkembang gaya penerbitan indie atau personal dengan biaya sendiri, sehingga tidak ada penyaringan kualitas secara objektif.

hm... 
sepertinya penjualan buku murah di pameran-pameran ada hubungannya dengan hal diatas, semacam kausalitas berkelanjutan. ketika buku yang tidak laku dipasaran semakin menumpuk, alhasil 'mau tidak mau' mereka harus menjualnya dengan membanting harga, 'yang pentin balik modal atau seburuk-buruknya tidak rugi 100 %'. Kenapa ini kausalitas berkelanjutan, karena secara tidak sadar ini akan membuat sebuah persepsi dalam cara pembelian buku, dan tentunya ini persepsi buruk. Pembeli akan serta-merta berpikir, "ah, lebih baik aku menunggu pameran, toh ini diadakan beberapa bulan sekali". Apa yang terjadi, bukannya ini menjadi solusi tapi menambah berat penulis-penulis atau penerbitan dikarenakan jumlah pembelian dengan harga resmi semakin menurun. Bukankah ini akan membentuk budaya buruk membaca? yah, ini belum lagi ketika saya masukkan fakta bahwa kita kembali lagi harus berhadapan dengan mafia pembajakan yang men-copy buku lalu dijual dengan harga murah. Penulis kita pun semakin menderita.

lalu?
apakah aku akan mengharamkan membeli buku murah di pameran-pameran buku berikutnya?
ah, sebagai pembaca yang 'tidak mapan' sulit untuk mengatakan tidak, kecuali dengan langkah berani. 'TIDAK ADA LAGI PAMERAN BUKU MURAH'

hei, dan mungkin saja sayalah salah seorang yang menentang kebijakan tersebut
ANEH BUKAN?
ya, saya sendiri merasa ini ANEH

LALU??




ditulis di Semarang, 15 Desember 2010
Qur'anul Hidayat Idris

1 Dan Memang, Garuda Itu Milik Bangsa dan Yang Memperjuangkannya

kau terbanglah jauh mengambil tabuh sayap di tanah ribuan pulau, dengan luka apa kami menyebut yang tersiksa oleh anak bangsa sendiri. Kusertai keranda di bola matamu tapi kau lagi berkata "aku pada yang memiliki, pada nakhoda sayap dan limpahan tumpah tanah, hutan dan laut yang ricuh" lalu jalan yang melapang bukankah telah tumbuh di ujung persengajaan yang rindang? aku mengenal yang bukan kata, aku mengenal yang bukan frasa bahkan aku tak tahu kapan tubuhku mereduplikasi menjadi ganda.

ah, sesungguhnya aku hanya bahasa

hutan fona
inilah leksem
kompositori yang mahir menjemput kompleks tubuh--terikat
atau simpleks yang bundar
sayap
sayap dari kau garuda
adalah fona, leksem bahasa  tubuh bangsa

ah, sesungguhnya aku hanya bahasa
dan memang, garuda itu milik bangsa
dan yang memerjuangkannya


Semarang, 15 Desember 2010
Qur'anul Hidayat Idris