Ada yang nyelip, bukan di
antara dua batang pohon atau di antara
dua gigi. Hm, tapi kau memang nyelip. Nyelip yang bagaimana aku tak tahu. Jelasnya,
aku selalu dapat merasakan keterselipanmu itu dengan sebenar rasa. Ketika aku
sedang mengetik ini pun, rasanya aku ingin melepaskanmu untuk sementara biar
aku fokus pada tuts dan huruf-huruf. Bukan kamu yang nyelip.
Awalnya memang kau tak nyelip,
dan kuyakin kau pun tak mau melakukannya. Tapi, ingatan memanglah luka. Jika
beruntung kau bisa menghilangkan bekasnya, tapi kebanyakan sisanya tetap ada
walau sekadar ketahuanmu tentang “kau pernah terluka”. Ups, jangan terfokus
pada luka yang sering menjadi tumbal kegalauan anak muda sekarang ini. Kembali
ke kau, dan tentu saja ke aktifitasmu yang nyelip itu. Ingatan mungkin yang
mempertemukan kita, dan ingatan pula yang membuat kau nyelip.
(pergilah sebentar hey, aku
sedang mengetik)
Aku juga tak mengerti kenapa
terkadang aku berharap kau terus seperti itu, nyelip dan tak lepas. Tapi aku
juga kadang merasa terlalu egois menyelipkanmu, memenggal kebebasanmu,
memangkas waktumu. Pertanyaannya, apakah kau suka nyelip seperti itu?
Nyelip itu mengganggu, seperti
bekas tulang di antara dua gigi. Tapi, bukankah nyelip juga memberi tanda
eksistensi, substansi, kenyataan, keberadaan, kemunculan, keAdaan,
ketersenggolan, dan semua yang menunjukkan bertemunya dua subjek, aku dan kau
yang nyelip. Tentu kau tak seperti tulang yang ingin segera kulepaskan. Kau
nyelip yang beda. Ah susah kuanalogikan kau dengan nyelip-nyelip yang lain.
Semarang, 28 September 2012
gambar dari sini
0 komentar:
Posting Komentar
Selesai baca, tinggalkan jejak ya!