Hei..
Sepakbola disukai oleh lintaskalangan dengan tanpa mengenal pembatasan apa pun. Banyak antusias yang membuat olahraga termasyur di dunia ini digandrungi, mulai dari klub kesayangan, ikut-ikutan pacar bahkan dikarenakan rivalitas antarkomunitas/daerah/negara.
Takdir dalam sepakbola tak jauh beda dengan cabang olahraga lainnya. Membawa suka cita meraih kemenangan. Tertunduk lesu karena kalah atau menggumam geram karena meraih hasil seri. So, ketiga takdir ini tentu berdampak luar-dalam bagi semua fragmen sepakbola (tim). 11 orang pemain memang bertanggungjawab kepada pelatih dan segenap official untuk mengeluarkan semua kemampuan agar kemenangan dan poin sempurna dapat diraih.
Sampai di situkah?
Tidak, 11 pemain, pelatih dan seluruh official mengantongi beban dari suporter yang mereka miliki. 100, 1000, sejuta bahkan ratusan juta suporter yang akan melonjak kegirangan ketika goal dan tertunduk ketika kemasukan goal. Sepakbola tanpa suporter hanyalah jadi opium kebudayaan yang tak berefek, tak meggairahkan dan tidak bisa menyambung nafas.
Ketiga takdir di atas jika dimengerti dan dapat dipahami secara manusiawi akan melahirkan tindakan berimbang, sportif dan realistis. Hasilnya adalah kedewasaan sebuah komunitas suporter dalam mengambil tindakan terhadap takdir klub kesayangan mereka. Apakah mereka tidak boleh protes? Jawabannya tentu sangat boleh, tapi apakah dengan meledakkan mercon, menyinari mata pemain lawan dengan laser, melempar botol ke lapangan, masuk ke lapangan atau saling jegal di tribun merupakan tindakan suportif dan menerima takdir? Tentu ini akan membuka mata dunia betapa komunitas suporter tersebut masih "kekanak-kanakan" dan belum dewasa.
Tulisan ini tentu mengacu kejadian mencengangkan sekaligus memalukan di dunia sepakbola Indonesia. Ketika tertinggal 0-2 dari Bahrain di Kualifikasi Piala Dunia Brasil dengan menit pertandingan yang masih berlangsung (75) suporter Indonesia bukannya menjadi penyemangat para pemain dengan tindakan antusiasme, tapi malah semakin menyulitkan timnas dengan meledaklemparkan mercon ke dalam lapangan. Alhasil, pertandingan dihentikan wasit, mental pemain jatuh, wajah PSSI jatuh, dan wajah INDONESIA ikut jatuh.
Ketakdewasaan di segala lini memang tengah mendera Indonesia. Ada baiknya juga permasalahan ini kita cari akarnya. Ketakdewasaan pemangku negeri, goverment tak bisa dipungkiri telah mengajarkan bangsa ini untuk terus menjadi "kanak-kanak". Gegabah, tak realistis, pendendam, mudah terprovokasi, malas dan tidak bisa menghargai adalah efek dari turunan ketakdewasaan tersebut. So, ada baiknya kita melirik pemimpin kita juga sebelum melihat wajah manusia Indonesia secara utuh.
(Bersambung)
Qur'anul Hidayat Idris
sumber gambar: klik di sini
0 komentar:
Posting Komentar
Selesai baca, tinggalkan jejak ya!