Memancing Bulan di Sumur Terdalam

Jumat, 05 Oktober 2012
Share this history on :
gambar dari sini


Oleh: Qur’anul Hidayat Idris

*Tulisan ini digunakan sebagai bahan diskusi oleh calon peserta magang LPM Hayamwuruk

Seorang pemuda termenung di malam hari, ketika itu Ia melihat bulan gagah terpancang di langit. Ia kemudian berkata pada dirinya sendiri, “indahnya bulan malam ini!”. Lalu Ia berhenti pada pengertiannya bahwa bulan itu “indah”. Ia tak melanjutkan dengan keterangan-keterangan lain yang memperjelas “keadaan” bulan yang sedang Ia lihat. Bisa jadi Ia memang tidak bisa melanjutkan pemikirannya atau Ia memang tak mau susah-susah untuk itu.

Kesampingkan alasan kenapa si Pemuda tidak melanjutkan pemikirannya. Fokus pada pernyataannya tentang “bulan” tadi. Apakah konsep bahwa objek—dalam hal ini bulan—itu indah telah mengantarkan si Pemuda dalam wacana keberilmuan? Sehingga ia pantas kita sebut sebagai penemu “keindahan bulan” dan namanya kita catat dalam buku sejarah?
Jawabannya adalah TIDAK. Karena si Pemuda belumlah sampai pada konsep keilmuan. Lalu apakah kita sebut ia bodoh dan menertawainya? TIDAK juga, yang perlu diluruskan adalah konsep terhadap wacana keilmuannya saja. Si Pemuda yang mungkin masih menikmati keindahan bulan itu kita sebut “seseorang yang berpengetahuan” tapi bukan “seseorang yang berilmu”.
Banyak orang yang menyamakan antara PENGETAHUAN dan ILMU, padahal kedua hal ini sangatlah berbeda. Dalam buku “Logika” tulisan Drs. H. Mundiri, pengetahuan (knowledge) merupakah hasil dari aktivitas mengetahui, proses tersingkapnya kenyataan ke dalam jiwa hingga tak ada lagi keraguan.
“Ketidakraguan” merupakan pondasi yang perlu kita pahami karena merupakan syarat untuk seseorang dikatakan mengetahui.Si Pemuda sangat yakin bahwa objek yang dilihatnya adalah bulan. Jadi, ketika ada pemuda lain yang tiba-tiba mengatakan objek tersebut adalah semangka, Ia dengan keyakinan penuh menyanggah, “tidak, itu adalah bulan” secara tegas dan meyakinkan. Tindakan itu tentu karena tidak ada lagi keraguan dalam jiwanya. Jika sebaliknya ia mengatakan, “oh ya? Kenapa kemaren aku dengar namanya bulan ya?”, Ia belum sampai pada tahap mengetahui bahwa objek tersebut adalah bulan karena keraguannya itu.
Konsep ini juga berlaku pada semua suasana “mengetahui” lainnya. Baik pada benda seperti laptop, meja, pohon. Pada peristiwa yang menyertai benda seperti meledak, malayang, pecah, tumbang, hingga pada sifat dan keadaan benda seperti busuk, keras, tinggi, indah, dll.
Sedangkan apakah ilmu? Jika pengetahuan cukup tahu tanpa keraguan, sedangkan ilmu menginginkan penjelasan lebih lengkap, teliti, sistematis , dan dapat dipertanggungjawabkan. Si Pemuda dapatlah kita sebut berilmu jika bisa menjelaskan “keindahan bulan” yang ia lihat. Ia berilmu jika mengatakan, “keindahan bulan tentu karena cahayanya yang terang, dan cahaya itu sebenarnya bukanlah milik bulan, ia hanya meminjam dari matahari. Luar biasa!”. Itu!
Pilih saja mau jadi berpengetahuan atau berilmu?

                Dangkal dan Dalam
                Sumur dangkal akan dengan mudah ditaklukkan, bahkan resiko terjebak sangat kecil. Tapi sumur yang dalam siapa yang berani? Tak ada yang mau masuk ke dalamnya karena takut tak bisa keluar. Analogi ini sebenarnya berlaku juga dalam kapasitas pemikiran seseorang, apakah hanya sekadar mengungkap sesuatu pada tahap pengetahuan atau ingin memperjelas segala sesuatunya dengan mempertanyakan ulang sebuah kebenaran.
Kebenaran selalu memperbaiki diri,  kebenaran selalu tumbuh sejalan dengan pemikiran yang juga tumbuh. Aristoteles berpikir dan ia menemukan konsep-konsep yang banyak sekali tentang kebenaran. Lalu apakah berhenti di situ? Kebenaran itu kemudian diperbaiki, dikritisi, ditimbang ulang, dan diadaptasi oleh generasi-generasi selanjutnya. Hal itu tak akan bisa terjadi jika Aristoteles tidak mau berpikir, pun begitu dengan generasi setelahnya.
Berpikir pada dasarnya mengajukan pertanyaan. Sudah kodrati sekali bahwa manusia punya rasa ingin tahu tentang segala sesuatu yang ditangkap oleh indera maupun yang bersifat spiritual. Seperti kebenaran, pertanyaan juga harus terus tumbuh. Bahkan, pertanyaanlah yang mennghidupi kebenaran.
Kenapa tradisi berpikir seringkali mandeg, terhenti, usang, dan mati? Hal ini tak lepas karena sikap yang tidak mau mempertanyakan ulang, alhasil kepercayaan diikat dengan erat dan dijaga kuat-kuat. Banyak orang menghindari untuk bertanya kembali tentang kebenaran yang ia dapat karena takut goyah dengan kebenaran lain yang berkembang di luar.
Lihatlah betapa wacana dalam diskusi di kalangan mahasiswa terkesan datar dan sekadar pemaparan ilmu yang kian usang. Tidak ada gebrakan, tidak ada pemberontakan terhadap sesuatu yang dianggap benar, tidak ada hasil baru yang memancing tradisi berpikir yang kuat. Semuanya takut mendobrak zona nyaman keilmuan dan hanya bersembunyi pada teori-teori yang telah dipelajari saja.
Bertanyalah lalu temukan jawaban, lalu pada jawabannya tanyakan lagi, tanyakan lagi sampai kau bisa memunculkan alibi ini, “hanya Tuhan yang tahu”. Oh ya, alibi di samping juga seringkali menjadi dalang kemandekan pemikiran. Alibi itu sering digunakan untuk menutupi kemalasan berpikir dan ketidaktahuan. Seharusnya alibi itu digunakan jika deretan pertanyaan telah terjawab, lalu pertanyaan selanjutnya tak lagi terjangkau oleh akal.

Alarm Untuk Setengah SMA Setengah Mahasiswa
Walaupun tak seluruhnya, tapi bisa diyakini sebagian besar mahasiswa berlabel baru masih berbau SMA. Di SMA, biasa diterapkan sikap nrima, sedangkan harus disadari sikap seperti itu tidaklah layak ketika sudah memasuki kawasan kampus, menjadi mahasiswa. Kenapa gerakan-gerakan bawah tanah yang radikal sering mengincar mahasiswa setengah SMA ini? Karena mereka mudah percaya sesuatu yang bahkan baru mereka dengar.
Kalian yang mengatakan ingin masuk ke dalam LPM Hayamwuruk, segeralah membuang jauh-jauh sikap itu. Menjadi jurnalis sama halnya memasuki dunia yang mengejar kebenaran. Jika kau percaya pada hanya satu kebenaran, bersiaplah terkejut karena kebenaran tersebut sangat versial, sepotong, janggal, dan tak kuat. Carilah kebenaran yang memperkuat kebenaran yang kau yakini  itu benar.
Anggaplah ini pelajaran pembuka sebelum kalian belajar yang lain di Hayamwuruk.
Selamat datang di dunia pemikiran!

follow twitter penulis di sini

Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!