Nyelip

Jumat, 28 September 2012
Share this history on :


Ada yang nyelip, bukan di antara  dua batang pohon atau di antara dua gigi. Hm, tapi kau memang nyelip. Nyelip yang bagaimana aku tak tahu. Jelasnya, aku selalu dapat merasakan keterselipanmu itu dengan sebenar rasa. Ketika aku sedang mengetik ini pun, rasanya aku ingin melepaskanmu untuk sementara biar aku fokus pada tuts dan huruf-huruf. Bukan kamu yang nyelip.

Awalnya memang kau tak nyelip, dan kuyakin kau pun tak mau melakukannya. Tapi, ingatan memanglah luka. Jika beruntung kau bisa menghilangkan bekasnya, tapi kebanyakan sisanya tetap ada walau sekadar ketahuanmu tentang “kau pernah terluka”. Ups, jangan terfokus pada luka yang sering menjadi tumbal kegalauan anak muda sekarang ini. Kembali ke kau, dan tentu saja ke aktifitasmu yang nyelip itu. Ingatan mungkin yang mempertemukan kita, dan ingatan pula yang membuat kau nyelip.
(pergilah sebentar hey, aku sedang mengetik)
Aku juga tak mengerti kenapa terkadang aku berharap kau terus seperti itu, nyelip dan tak lepas. Tapi aku juga kadang merasa terlalu egois menyelipkanmu, memenggal kebebasanmu, memangkas waktumu. Pertanyaannya, apakah kau suka nyelip seperti itu?
Nyelip itu mengganggu, seperti bekas tulang di antara dua gigi. Tapi, bukankah nyelip juga memberi tanda eksistensi, substansi, kenyataan, keberadaan, kemunculan, keAdaan, ketersenggolan, dan semua yang menunjukkan bertemunya dua subjek, aku dan kau yang nyelip. Tentu kau tak seperti tulang yang ingin segera kulepaskan. Kau nyelip yang beda. Ah susah kuanalogikan kau dengan nyelip-nyelip yang lain.

Semarang, 28 September 2012
Qur’anul Hidayat Idris
follow my twitter di sini
gambar dari sini

Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!