Senja Berbusana Hujan

Rabu, 30 November 2011
Share this history on :
Sumber Gambar

Aku menatap pepohonan basah di luar sana, lewat jendela kaca di kamarku. Detak jam dinding terasa semakin kuat, aku menoleh dan mendapati bahwa senja telah hinggap di pucuk-pucuk daun. Langit tersapu jingga, birunya menghindar, kini aku mengerut, dingin. Ah, Hujan. Selalu datang pada waktu yang tak diduga, tapi selalu tepat mengeja kejadian.

"Kenapa kau masih di situ, Jati?" Aora membuatku sadar terlalu lama menyimak bulir hujan di luar sana. Aku menoleh dan kaget, dari kepalanya mengalir bulir air bening membasahi muka, leher dan bajunya kini terlihat lembab.

"Aora, sudah kubilang jangan bermain-main dengan hujan. Kau bisa demam, sayang!" Aku mengambil beberapa lembar tisu di atas meja, memegang tangannya lalu ikut duduk di atas kasur. Aku mulai mengelap bulir hujan yang tak meluber jadi basah. Entah kenapa? Air dari kepalanya tak mau berhenti, aku melihat ke atas apakah langit-langit kamar kami telah bocor. Aku tak menemukan adanya lubang di sana. Namun, ketika aku menjuruskan lagi pandang ke wajah Aora, ia telah menyiapkan senyum indah di sana.

"Aku tak mengerti!" Ucapku agak panik sambil mengambil lagi tisu dan kembali gagal mengeringkan air dari wajahnya.
"Kau sudah pikun ternyata, Pa!" Senyumnya jelas kini bernada mengejek.
"Apakah aku melupakan sesuatu yang penting?"
"Lebih dari penting!" Ia menahan tanganku supaya berhenti mengelapnya lagi.
"Maukah kau mengingatkanku, Sayang?"
"Memang sudah lama dan sebenarnya aku pun sudah pikun, Pa. Tapi, aku selalu ingat satu kalimat yang kau ucapkan dulu, ya dulu sekali." Aku menunduk, mencoba mengingat, tapi kembali gagal.
"Nyerah?"
Aku mengangguk.
"Padahal kau dulu tak gampang menyerah, Pa!"
"Bukankah ini adalah sesuatu yang wajar, Sayang?"
"Ya, wajar sekali, Pa!"
"Kalau begitu maukah kau mengatakannya?" Aora kini tersenyum.
"Kau pernah mengatakan padaku, Pa. 'Jika aku berhasil menghantarkan hujan waktu senja di sekujur tubuhmu ketika jam dinding berdetak kuat, itu lah saatnya kita sadar bahwa tak ada lagi yang perlu disiratkan, kecuali menghadapi Tuhan yang telah lekat di ubun-ubun' Tidakkah kau ingat, Pa?"

Aku berdiri dan kembali ke jendela, menatap kembali hujan yang kini perlahan mereda dan senja yang bergeser menjadi malam. "Benarkah aku pernah berkata seperti itu, Sayang?"
Aora tak menjawab, aku mendapatinya berbaring dengan senyum dan bulir hujan yang menjadi lembab di kelopak matanya, tertutup.


Qur'anul Hidayat Idris

Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!