IZA
Hatiku berdetak,
Kau mungkin ingin membantahnya, mana ada hati yang berdetak, mana ada hati yang menyerupai jantung. Namun, malam hari ini, aku merasakan dengan sesungguhnya hatiku berdetak, seperti saat aku ketakutan, cepat dan berirama kacau. aku mengendarai vespa bututku cepat, rasanya melayang entah kemana. Sempat aku takut kalau-kalau tanpa sadar aku telah menabrak kendaraan di depan dan masuk ke trotoar jalan.
“Ping, maaf kalo lo bakal marah, tersinggung atau apalah, tapi gue tetap harus ngasi tau, karena gue gak mau lo salah dengan perasaan lo sendiri ke Iza. Lo yang sabar Ping, dia mutusin lo kemaren gara-gara ngerasa malu jalan ama lo. Katanya dia ingin nyari yang tajir, dan… nggak make vespa butut kaya gitu! Dia ngomong sendiri sama gue Ping, karena gue peduli, gue kasi tau ke lo”
Ucapan Shanda melayang-layang di kepalaku. Tiba-tiba anak Jakarta itu mengirim sms sehabis maghrib, meminta menemuinya jam 19.30 Wib di Kafe Kopi Ireng. Sebagai teman dekatnya, aku tidak berpikir panjang, apalagi aku juga ingin curhat tentang Iza yang mutusin secara tiba-tiba. Setiba disana, tanpa ada basa-basi, bahkan aku belum sempat duduk Shanda langsung menghujam benakku dengan ucapannya.
Banyak alasan yang benar-benar membuatku syok berat. Aku sudah satu setengah tahun berpacaran dengan Iza. Selama ini tak pernah ia malu bersamaku yang kere ini, dia bahkan mengatakan ketika awal kami pacaran kalau salah satu daya tarik dalam diriku adalah kesederhanaan. Ia tidak malu kuboncengi dengan vespa butut berbau tengik berwarna abu-abu luntur ini, ia bahkan tidak malu mengajakku berkumpul dengan teman-temannya.
Kuakui aku memang dekil. Berambut keriting lebat dengan topi menggantung di kepala. Celanaku pun sudah robek di sana-sini dan tetap kelihatan kotor walau telah ku cuci. Sepatuku bau karena telah resam dengan keringat. Tapi, bukankah dia tidak pernah memersalahkan itu?
Telunjuk Shanda ke arah vespa melesapkan aliran darahku, aku perlahan mengikuti telunjuk itu, berkecamuk. Tak ada kata yang kukeluarkan, segera aku berbalik menuju vespa, pergi meninggalkan Shanda yang juga terdiam, tidak mencegahku.
Aku memberhentikan vespaku di daerah Banjarsari, aku takut tetap mengendarai di tengah kecamuk perasaan. Ku ambil rokok dalam saku celana, sudah lecek dan agak bengkok, itu stok rokok terakhirku. Dengan cepat kuselipkan di bibir, aku meraba saku sebelah kiri.
“Anjing!”
Aku tidak membawa korek api dan sia-sialah rokok yang menggantung di mulutku. Kusembur rokok itu hingga memantul sekitar satu meter, berlabuh di rerumputan basah, semakin sia-sia.
Aku tidak membawa korek api dan sia-sialah rokok yang menggantung di mulutku. Kusembur rokok itu hingga memantul sekitar satu meter, berlabuh di rerumputan basah, semakin sia-sia.
Iza salah satu dari tujuh pacarku selama aku kuliah. Dia wanita paling baik dari enam lain yang berengsek, dia pacarku yang tak pernah memintaku untuk membelikannya hadiah, bahkan kado ulang tahun. Dia adalah satu-satunya pacarku yang menyuruhku belajar beribadah dan mengajakku berpuasa senin-kamis. Satu hal lagi, dialah satu-satunya pacarku yang memakai kerudung.
Sulit kugambarkan dan kuyakinkan orang lain bahwa Iza adalah pacarku. Wanita yang memancarkan ketenangan di wajahnya, semampai dan cantik, diminati banyak cowo di kampus. Dia bahkan dikucilkan dari perkumpulan mahasiswa agamis di kampus, karena dinilai keluar dari pemahaman. Pernah kutanya padanya apakah dia menyesal dengan semua yang terjadi dalam hidupnya, dengan gamblang ia menjawab “kalau suatu saat aku menyesal, kuberi tahu kau Ping, tenang saja!” aku lalu refleks ingin mencubit pipinya karena gemas mendengar jawaban itu, ia lalu cepat menaruh telunjuk di bibir. “hati-hati lho Ping, aku bakal menyesal kalau jarimu nyampe ke pipi ini” kembali dari berkali-kali kuhentikan cepat gerakan tanganku yang segera menyentuh pipinya. Dia pun menutup mulut dengan jari sambil menunduk, aku tahu dia sedang menertawaiku.
“Puas?” aku menudingnya, lalu ikut tertawa lepas ketika itu.
Ingatan itu membuatku agak tenang, aku kembali menyadari besarnya pengorbanan Ifa terhadapku. Tapi yang membuatku tidak sepenuhnya tenang adalah pertanyaan, “kenapa Ifa berubah?”. Aku akan merasa bersalah jika berpacaran denganku telah menjebaknya pada pilihan hitam dan putih dalam dirinya, lalu dia akhirnya memilih hitam.
Aku sudah terlalu lama berhenti di pinggir jalan, pedagang nasi goreng keliling beberapa kali menatapku aneh sambil tetap menawarkan dagangannya, tak ku acuh. Aku mengengkol vespa, kali ketiga baru mesinnya menyala, itu pun dengan suara berat, semakin berat sampai tiba-tiba mati lagi.
Aku mengengkolnya lagi, tidak ada tenaga sama sekali. Kakiku mulai pegal, tidak pernah dia ngambek seperti itu, paling hanya kalau bensinnya habis.
Aku menepuk jidat, alasan terakhir itulah kurasa penyebabnya. Aku belum mengisi bensinnya tiga hari dan pantas ia ngambek karena saking hausnya. Aku sudah yakin, tidak perlu mengecek tabung bensin. Solusinya gampang, aku harus menggiring vespa sepanjang 500 meter dengan salah satu jalan yang cukup menanjak, cukuplah sudah membuatku berolahraga malam.
Vespa mulai ku dorong, baru lima meter berjalan aku berhenti lagi, lalu menyandarkan vespa di cagaknya. Aku berbalik kembali ke tempat aku berhenti barusan. Naik ke atas terotoar dan melihat-lihat ke bawah, beberapa saat kemudian aku menjongkok.
Ku bersihkan sebatang rokok yang sudah lembab itu, kumasukkan di saku perlahan agar tidak rusak, dan segera pulang.
(bersambung)
Semarang, 11 Maret 2011
Qur’anul Hidayat Idris
sumber gambar : klik di sini
0 komentar:
Posting Komentar
Selesai baca, tinggalkan jejak ya!