MELEDAKLAH BERSAMA JIWA!!

Rabu, 29 September 2010
Share this history on :
Pencapaian yang dilakukan manusia dalam ilmu pengetahuan memang cukup membanggakan. Berbagai rahasia dapat terpecah dan menjadi pelajaran umum di ruang pendidikan mau pun secara otodidak dipelajari. Bahkan rahasia terciptanya alam semesta telah dapat diambil teorinya, big bang, wah, saya tidak akan menjelaskan tentang teori ini, selain ianya bisa ditemukan dalam jurnal-jurnal ilmiah dan cukup mengetik “big bang” di kolom pencarian ‘kakek google’. Selain itu, saya bukan ahli dibidang tersebut, saya hanya mengambil intisari dari ilmu ini.

Ledakan hebat itulah yang melahir-hadirkan planet, bintang dan bermacam spesies benda semesta lainnya. Pengetahuan yang akhirnya diakui ini telah menyingkirkan dugaan-dugaan sebelumnya. bagai pelita ia hadir mendadak ditengah kegelapan, membuat semua merasa ‘silau’ yang akhirnya tersenyum mengetahui itulah ‘terang’ yang dapat diterima oleh mata, menjadi terang yang benderang.

Apa yang terjadi dari ledakan?

Ledakan identik dengan penghancuran, pemusnahan, tercerai-berai, pisah. Pemikiran harfiah ledakan tentu mengarah pada ledakan bom, nuklir dan berbagai macam tetek-bengek yang berhubungan dengan persenjataan perang. Ledakan yang diartikan secara lebih mendalam (konotatif) akan mengindikasikan pada cetusan, buncahan, euforia. Apa yang dapat dilihat dari keduanya? Tentu perbedaan kutub yang penanggapannyapun berlainan. Untuk yang pertama, ledakan menjadi sesuatu yang ditakuti, dihindari, kejahatan dan kehancuran fisik sehingga menjadi negative mean. Sedangkan, pengartian konotatif memberi peluang kepada kata mengembangkan sayap pemaknaannya kepada yang lebih baik, indikasinya adalah ianya dicari, diinginkan dan menjadi pemicu kekuatan, inilah positive mean.

Apakah manusia bisa meledak?
Saya tidak akan mengungkit pemaknaan secara harfiah yang akan membawa kita pada imajinasi umum, contoh: telan saja sebuah bom, lalu meledak. Saya akan membicaran ledakan yang dicari dan diinginkan oleh manusia.
Meledak, meledak, meledaklah. Apa yang kita rasakan saat kata tersebut diteriakkan oleh seseorang dengan motivasi dan keyakinan penuh. Dapat kita rasakan buncahan, kekuatan bahkan euforia seolah kita akan segera meledak. Sesungguhnya alam bawah sadar kita telah mencatat semua ledakan itu dalam kantung-kantung memorinya, dan ia selalu mengingat dan bangun dari tidurnya ketika kondisi luar mengalami proses penekanan. Bahkan kita sendiri pun tidak mengerti darimana energi ledakan itu, kita hampa namun penuh nyawa, apalagi yang mengucapkan adalah sosok yang telah mengalami peledakan.
Meledak sering diasumsikan sebagai ‘puncak’ pencapaian, jagat kesuksesan, titik superior. Pernah mendengar orang berteriak sambil membawa sebuah benda “wah, buku ini meledak dipasaran”. Gambaran itu sudah sedikit mewakili bagaimana ledakan itu terjadi pada apa yang dihasilkan dan yang meledakkan itu butuh pengorbanan, disebut proses peledakan.
Kembali tentang bagaimana teriak ‘ledakkan atau meledaklah’ itu mempunyai nyawa dan secara otomatis memanggil kekuatan dari alam bawah sadar hadir?  Inilah yang disebut pengendapan (kontemplasi) yang mengumpul, menumpuk lalu menjadi reaksi.
Saat kita memandang mata seseorang agak lama, alih-alih kita menemukan tanggapan terhadap si Empunya mata, misalnya “ah, dia orangnya sinisan”. “ternyata dia lagi jatuh cinta” atau kita temukan keteduhan dimata tersebut yang intinya adalah perasaan suka. Nah, saat tanggapan itu berhasil kita dapat, berarti kita telah menemukan ‘keadaan kontemplatif’ dimatanya.
‘perasaan suka’ itu menjadi ledakan awal yang melahirkan ledakan selanjutnya, bermarkas  pada proses ‘realisasi kemungkinan’. Perasaan suka yang melahirkan cinta kerap diawali oleh sebuah objek perhatian yang menarik perhatian, lalu proses yang ada akan memberi informasi lebih lengkap sehingga pada akhirnya ia bisa memutuskan. Ya/tidak. keputusan itu sangat bergantung dari tanggapan satu dengan yang lain dan tak lebih tentang kecocokan.

Lalu, ledakan apakah yang perlu kita hasilkan?

Meledaklah bersama yang ditawarkan oleh jiwa. Pernah mendengar pribahasa ‘tepuk dada tanya selera?’. Kita disuruh untuk menemukan penawaran dari dalam diri, bukan apa yang dunia atau orang lain tawarkan. Berapa banyak penawaran yang mengikuti pasar hanya berdampak pada ketidakbetahan dan ketidaknyamanan setelah mendapatkannya, sehingga kerap penawaran dari dalam berontak, bersaing dengan apa yang ada. Pilihan setelah memilih selalu sulit, karena tidak lagi dalam keadaan gelas kosong. Bila memilih kembali, otomatis gelas yang terisi harus berbagi tempat.
Sejak kecil kita sudah melakukan penumpukan informasi, sehingga orang yang menilai atau menangkap keadaan kontemplatif kita berkata “wah, anak ini kelak jadi polisi” karena sedari kecil kita sering menjadi pengadil dan pelerai perkelahian. Atau “kamu cocok menjadi penulis” disebabkan sejak kecil sudah suka menulis di dinding rumah, atau benar-benar sudah bisa membuat karangan dengan baik.
Saat beranjak kedunia sekolah, pengidentifikasian diri mulai terjadi. Kerap lingkungan sekitar coba menangkap ‘bakat’, membantu menemukan keinginannya. Pelajaran di sekolah juga telah mengenalkannya pada spesifikasi yang lebih jelas. (baca ilustrasi cerita di bawah)



Semenjak berumur satu tahun, Fairuz menunjukkan bakat atau ketertarikannya kepada benda. Ia lebih memilih untuk mengambil pensil yang digunakan si kakak Rana buat belajar ketimbang bermain dengan mobil-mobilannya. Awalnya kedua orang tua tidak ngeh dengan keinginan anaknya tersebut, namun lama-kelamaan kehendak Fairuz mulai diladeni. Ia dibelikan sebuah pensil—mengalihkan perhatiannya agar tidak mengganggu si kakak. Ketertarikannya yang besar terhadap pensil tersebut membuat ia mencoreti lantai, dinding bawah dan semua yang bisa disentuhnya dengan pensil. Ibu berinisiatif memberinya buku gambar agar tidak lagi mencoreti bagian rumah. Kegiatan mencoret mulai tersalurkan di buku gambar, sejak itulah Ibu menangkap keadaan kontemplatif dari Fairuz kalau ia berbakat untuk menjadi pelukis. Sewaktu di TK bakat ini semakin jelas terlihat, daya imajinasinya melebihi anak-anak lainnya. Saat yang lain menggambar gunung dan sawah, ia sudah menggambar wajah kakaknya Rana. Sang Ibu tidak memaksakan kehendak, ia mendorong Fairuz untuk mengembangkan bakatnya dengan menyediakan peralatan lukis yang memadai bagi anaknya. Seperangkat pensil cat, meja lukis dan kertas gambar menjadikan Fairus semakin leluasa melukis. Peran sekolah tidak kalah penting bagi Fairus. Di SD ia dapat menuangkan idenya lebih luas dengan bimbingan guru. Di masa sekolah, Fairuz semakin menemukan spesifikasi dalam dirinya, apalagi setelah ia diikutkan untuk mewakili sekolah dalam lomba-lomba lukis.


Apa yang terjadi kalau seandainya Fairuz dipaksa menjadi dokter oleh ibunya yang terobsesi dengan keadaan bursa kerja yang lebih menjamin masa depan anaknya?
Yang terjadi adalah, jika pun Fairuz menjadi dokter, ia tidak akan MELEDAK. Ya! Ia tetap menjadi dokter, namun dokter biasa-biasa saja tanpa NILAI LEBIH karena melakukannya tanpa rasa cinta dan keinginan besar.  Maka, “tepuk dada tanya selera”
Betapa banyak anak yang terjebak oleh keinginan orang tuanya, kendati pun ia sebenarnya tahu bakat yang ditunjukkan si anak sejak kecil. Obsesi para orang tua berubah menjadi intervensi keinginan yang menjebak anaknya sendiri. Keinginan yang dipaksakan membuat anak ‘tidak bisa menentukan pilihan’. Menjalani apa adanya tanpa kecintaan atas ‘yang dipilihkan’ tersebut.
Meledaklah bersama jiwa!!
Saya ingin mengkritik cara masyarakat kita umumnya dalam memandang ‘sebuah pilihan’. Dalam hal pengambilan prodi di universitas misalnya, sering terjadi kultus-kultus yang menjebak kelapangan pikiran. Saat mereka bertanya ‘kamu ngambil jurusan apa?’ dan yang ditanya menjawab, ‘saya ambil A’, tanggapan ketidaksesuaianpun muncul, yang paling sering dengan kembali bertanya, ‘ah, mau jadi apa nanti kamu, kenapa nggak B, C atau D, itu lebih menjamin’.
Ini tidak lebih penjarahan pilihan menurutku, terlebih ketika seseorang yang baru hendak menguatkan pilihannya sangat mudah merasa ‘hampa dukungan’. Pengkultusan ini terjadi akibat nilai khusus sebuah profesi di masyarakat, akibatnya penilaian bertolakbelakang pun muncul, apalagi terhadap ‘pilihan baru’ yang masih ‘aneh’ di tengah masyarakat.
Yakinlah, setiap orang mempunyai jalur yang semakin merupa-warnakan dunia, pada akhirnya demi kebutuhan hidup bersama. Apakah si Fulan lebih memilih IPS ketimbang IPA karena ia tidak mampu Kimia atau Fisika atau Fulan memilih IPA karena punya nalar yang rendah. Kulltus seperti inilah yang harus dihilangkan. Jiwa punya pilihannya dan pilihan oleh jiwa tidak diperoleh secara instan, terjadi proses ‘perkenalan’ yang membawa ‘keinginan mendalami’ yang pada akhirnya menjadi keutuhan sebuah ‘ikatan’.
Meledaklah bersama jiwa!

‘tepuk dada tanya selera’. Pribahasa yang tidak sederhana, mengandung nilai luhur sebuah penyerahan keyakinan melalui yang muncul, yang timbul, yang benderang dari dalam jiwa, bukan sekedar serangkaian instruksi yang dibacakan lalu dilakukan. Bertanyalah dengan melihat proses, bertanyalah apakah kita mampu seumur hidup membohongi jiwa karena mengalih channel-kan pilihan? Jawaban ada ditangan siapa pun yang berani ‘menentukan pilihan sesuai keyakinan’.
Lalu lihatlah!
Apakah kau sekedar menjadi granat atau menjadi nuklir?


Diselesaikan tanggal 25 September 2010
Bengkalis dan Semarang.
Qur’anul Hidayat, penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia Undip semester III

Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!