[#FikTwit] Kota, Aku, dan Sebuah Ponsel

Senin, 03 Desember 2012
Share this history on :

Ini saya sebut FikTwit, mungkin hanya saya yang menyebutnya begitu. Kenapa #FikTwit, karena karya ini lahir dari twit bersambung di akunku @Bang_Dayyy. #Fiktwit keduaku masih “berlangsung” di akun twitter. Selamat menikmati.

Kota ini menyimpan misteri saban malam datang. Langkah gontai itu berkata, “Kaulah rumah kami dan kaulah satu-satunya yang tersisa.” Ia bersandar di tembok sebuah toko bengkel yang sudah tutup. Lama disimpannya asap rokok dalam paru-paru sebelum membuangnya perlahan. Ia mungkin tak pernah tahu Chairil si Binatang Jalang juga merokok. Tapi yang jelas pria dengan baju bekas kampanye itu tak pernah berpuisi.
Apa itu puisi? Mungkin ketika pertanyaan itu datang padanya, ia akan berkata. “Kota inilah puisi bagiku, tapi bukan manusianya!”

Ada yang janggal dari gelap malam, malam itu. Entahlah, ia seperti melihat banyak kunang-kunang yang turun dari langit, banyak sekali. Tak pernah ia tahu bagaimana suara kunang-kunang. Namun, malam itu ia mendengar deru yang cukup keras, “Ah, aku mungkin terlalu banyak berkhayal tentang hidup di dalam gedung-gedung itu. Padahal kenapa aku tak puas saja dengan kota ini. Tentu saja kota ini, bukan manusianya!”
Rokok di sela jarinya pun tersisia puntung yang rasanya pahit. “haha, aku harus sadar bahwa besok harus ada rokok yang menyumpal mulut busukku ini. Jam berapa ya sekarang?” Ia hanya menerka, tak ada jam tangan atau ponsel di sakunya. Dulu ia pernah ponsel yang didapatnya dengan mudah dari tas seorang wanita. Tapi apa daya, ia tak pandai menggunakannya dan terlalu gugup ketika sebuah nama berulang kali menerornya. Menurut seorang temannya yang pandai membaca, yang menelepon itu bernama, “Aku”.
Ia kemudian bingung dan tak habis pikir bagaimana ia yang tak punya ponsel menelepon ponsel yang baru diambilnya (baca: dicuri) itu. Karena rasa penasaran, panggilan itu ia angkat, tentu setelah bertanya bagaimana caranya. Sesaat setelah tombol ditekan, terdengar pekikan nyaring, “Maliiiiiiiiiiiiiiing! Balikin hapeku. Dasar asu!” Ia kemudian kembali tak habis pikir, kenapa si Aku itu marah-marah? Bukankah itu dirinya? “Kusumpahin kau jadi asu atau mati hari ini juga!” Pekikan itu terus berlanjut ternyata.
Ia diam lalu berkata, “Aku?” Suasana hening sesaat, sepertinya wanita di ujung telepon itu kebingungan, “Siapa lagi? Ya kaulah. Dasar maling, mana mau ngaku!” Pria itu coba bertanya lagi dengan lebih kencang. “Aku? Kau itu Aku?” Suasana hening kembali sebelum wanita itu kembali memaki, “dasar maling sinting. Pokoknya matilah kau!” tut tu tut.
Sambungan itu diputus sepihak, “Hei, Aku? Aku?” Ia masih berharap obrolan itu berlanjut. Entah kenapa, walau mendapatkan makian, ia malah nyaman mendengarnya. Seperti mendengar suara dari dalam dirinya sendiri.
Setelah sepanjang pagi sampai siang menunggu ponsel itu berbunyi lagi, ia mendapati hasilnya nihil. Lalu ia sadar bahwa ia telah membuang banyak waktunya untuk hal yang sia-sia. Ia kemudian menjual ponsel itu di dealer kecil di dekat tempat ia memungut sisa-sisa sampah kota, “berapa?” Ia yang tak mengerti harga barang elektronik mencoba sok tahu. Tapi apa daya, pedagang keturunan Tionghoa itu sepertinya jauh lebih pandai. Tokeh itu tahu kalau pria kumuh di hadapannya adalah orang udik yang bebal. “Tiga lima! Ini sudah jelek, programnya juga harus diinstall lagi.” Ia hanya bisa menerima, tak bisa membantah karena tak tahu menahu tentang program atau baik-buruknya sebuah ponsel.
“Apa yang aku lakukan? Aku menggunakan uang dari ponsel milik Aku untuk merokok dan makan. Aku memang asu!” Ia perlahan duduk di atas lantai depan toko. Tak pernah ia merasa seperti telah mencuri barang miliknya sendiri. Itu membuatnya terpukul dan merasa sangat bersalah. Ia kemudian kembali melihat ke arah langit. Kunang-kunang itu nyatanya masih ada dan tetap bising. Lalu ia melihat ke arah jalan, kunang-kunang itu menerangi tanah, aspal, trotoar, dan beberapa pohon yang tak lagi rindang. “Ah, aku berkhayal, bukan?” Ia bertanya pada dirinya sendiri.
Ada kesepian lahir tiba-tiba dalam hatinya. Ia kedinginan. Tak ada alas tidur malam itu. Ia hanya memeluk tubuhnya sendiri. Tapi dingin itu tambah kentara. Ia lalu berbaring dan memejamkan mata. Sesaat itulah ia tahu bahwa pejaman itu adalah yang terakhir baginya.
***
Adakalanya kita sama sekali tak mengenal diri sendiri. Menerka-nerka letak denyut yang tak terbilang jumlahnya. Bertanya pada semua orang, tapi tanpa suara. Manusia semakin tak ingin berbicara pada orang lain ternyata. Mereka lebih suka bertanya  tentang dapur yang harus tetap berasap, tempat make up yang tak boleh kosong, pencalonan diri menjadi pejabat negara dan semua tentang wanita semata?
Lihatlah pria itu tersenyum. Mungkin ada lalat yang mulai terpanggil karena baunya yang mulai menyengat. Tapi tubuh itu tetap tersenyum. Sederhana sekali bukan? Jika biasanya setiap kematian dirimbuni oleh tangis. Pria yang terkapar dengan baju lusuh itu, siapa yang mau menangisinya? Paling mayatnya akan dibeli untuk praktik belajar anatomi tubuh manusia oleh mahasiswa kedokteran.
Tak ada tangisan, bukankah berarti tak ada senyuman?
Ia tersenyum. Bahwa ia mati tanpa membuat orang lain bersedih. Entahlah, mungkin yang ia sesali adalah ketika tubuh kakunya itu membuat keributan di tengah kota yang selalu saja bising oleh suara kendaraan dan teriakan tukang parkir. Oh, lihatlah wajah mereka yang mengerubungi mayat pria itu, semuanya tampak sinis. Mungkin, bagi mereka kematian haruslah pada tempatnya. Tidak boleh sembarangan karena itu akan merusak ketertiban kota yang mereka cintai itu.
Tubuh pucat itu pun dibawa. Entah oleh siapa, entah kemana.

Oleh: Qur’anul Hidayat Idris
28 November 2012

gambar dari sini

Related Posts by Categories

1 komentar:

The Last Malay Girl Says:
Kamis, Desember 06, 2012

Dayaaaaaaaaaaaaaatttttttttt............
hah. jelous tengok blog mu.!

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!