Ini saya sebut FikTwit, mungkin hanya
saya yang menyebutnya begitu. Kenapa #FikTwit, karena karya ini lahir dari twit
bersambung di akunku @Bang_Dayyy. #Fiktwit keduaku masih “berlangsung” di akun
twitter. Selamat menikmati.
Kota
ini menyimpan misteri saban malam datang. Langkah gontai itu berkata, “Kaulah
rumah kami dan kaulah satu-satunya yang tersisa.” Ia bersandar di tembok sebuah
toko bengkel yang sudah tutup. Lama disimpannya asap rokok dalam paru-paru
sebelum membuangnya perlahan. Ia mungkin tak pernah tahu Chairil si Binatang
Jalang juga merokok. Tapi yang jelas pria dengan baju bekas kampanye itu tak
pernah berpuisi.
Apa
itu puisi? Mungkin ketika pertanyaan itu datang padanya, ia akan berkata. “Kota
inilah puisi bagiku, tapi bukan manusianya!”
Ada
yang janggal dari gelap malam, malam itu. Entahlah, ia seperti melihat banyak
kunang-kunang yang turun dari langit, banyak sekali. Tak pernah ia tahu
bagaimana suara kunang-kunang. Namun, malam itu ia mendengar deru yang cukup
keras, “Ah, aku mungkin terlalu banyak berkhayal tentang hidup di dalam
gedung-gedung itu. Padahal kenapa aku tak puas saja dengan kota ini. Tentu saja
kota ini, bukan manusianya!”
Rokok
di sela jarinya pun tersisia puntung yang rasanya pahit. “haha, aku harus sadar
bahwa besok harus ada rokok yang menyumpal mulut busukku ini. Jam berapa ya
sekarang?” Ia hanya menerka, tak ada jam tangan atau ponsel di sakunya. Dulu ia
pernah ponsel yang didapatnya dengan mudah dari tas seorang wanita. Tapi apa
daya, ia tak pandai menggunakannya dan terlalu gugup ketika sebuah nama
berulang kali menerornya. Menurut seorang temannya yang pandai membaca, yang
menelepon itu bernama, “Aku”.
Ia
kemudian bingung dan tak habis pikir bagaimana ia yang tak punya ponsel menelepon
ponsel yang baru diambilnya (baca: dicuri) itu. Karena rasa penasaran,
panggilan itu ia angkat, tentu setelah bertanya bagaimana caranya. Sesaat
setelah tombol ditekan, terdengar pekikan nyaring, “Maliiiiiiiiiiiiiiing! Balikin hapeku. Dasar asu!” Ia kemudian kembali tak habis pikir, kenapa si Aku itu
marah-marah? Bukankah itu dirinya? “Kusumpahin
kau jadi asu atau mati hari ini juga!” Pekikan itu terus berlanjut ternyata.
Ia
diam lalu berkata, “Aku?” Suasana hening sesaat, sepertinya wanita di ujung
telepon itu kebingungan, “Siapa lagi? Ya kaulah. Dasar maling, mana mau ngaku!” Pria itu coba bertanya lagi
dengan lebih kencang. “Aku? Kau itu Aku?” Suasana hening kembali sebelum wanita
itu kembali memaki, “dasar maling sinting. Pokoknya matilah kau!” tut tu tut.
Sambungan
itu diputus sepihak, “Hei, Aku? Aku?” Ia masih berharap obrolan itu berlanjut.
Entah kenapa, walau mendapatkan makian, ia malah nyaman mendengarnya. Seperti
mendengar suara dari dalam dirinya sendiri.
Setelah
sepanjang pagi sampai siang menunggu ponsel itu berbunyi lagi, ia mendapati hasilnya
nihil. Lalu ia sadar bahwa ia telah membuang banyak waktunya untuk hal yang
sia-sia. Ia kemudian menjual ponsel itu di dealer
kecil di dekat tempat ia memungut sisa-sisa sampah kota, “berapa?” Ia yang tak
mengerti harga barang elektronik mencoba sok tahu. Tapi apa daya, pedagang
keturunan Tionghoa itu sepertinya jauh lebih pandai. Tokeh itu tahu kalau pria kumuh di hadapannya adalah orang udik
yang bebal. “Tiga lima! Ini sudah jelek, programnya juga harus diinstall lagi.” Ia hanya bisa menerima,
tak bisa membantah karena tak tahu menahu tentang program atau baik-buruknya
sebuah ponsel.
“Apa
yang aku lakukan? Aku menggunakan uang dari ponsel milik Aku untuk merokok dan
makan. Aku memang asu!” Ia perlahan duduk di atas lantai depan toko. Tak pernah
ia merasa seperti telah mencuri barang miliknya sendiri. Itu membuatnya
terpukul dan merasa sangat bersalah. Ia kemudian kembali melihat ke arah
langit. Kunang-kunang itu nyatanya masih ada dan tetap bising. Lalu ia melihat
ke arah jalan, kunang-kunang itu menerangi tanah, aspal, trotoar, dan beberapa
pohon yang tak lagi rindang. “Ah, aku berkhayal, bukan?” Ia bertanya pada
dirinya sendiri.
Ada
kesepian lahir tiba-tiba dalam hatinya. Ia kedinginan. Tak ada alas tidur malam
itu. Ia hanya memeluk tubuhnya sendiri. Tapi dingin itu tambah kentara. Ia lalu
berbaring dan memejamkan mata. Sesaat itulah ia tahu bahwa pejaman itu adalah
yang terakhir baginya.
***
Adakalanya
kita sama sekali tak mengenal diri sendiri. Menerka-nerka letak denyut yang tak
terbilang jumlahnya. Bertanya pada semua orang, tapi tanpa suara. Manusia
semakin tak ingin berbicara pada orang lain ternyata. Mereka lebih suka
bertanya tentang dapur yang harus tetap
berasap, tempat make up yang tak
boleh kosong, pencalonan diri menjadi pejabat negara dan semua tentang wanita
semata?
Lihatlah
pria itu tersenyum. Mungkin ada lalat yang mulai terpanggil karena baunya yang
mulai menyengat. Tapi tubuh itu tetap tersenyum. Sederhana sekali bukan? Jika
biasanya setiap kematian dirimbuni oleh tangis. Pria yang terkapar dengan baju
lusuh itu, siapa yang mau menangisinya? Paling mayatnya akan dibeli untuk
praktik belajar anatomi tubuh manusia oleh mahasiswa kedokteran.
Tak ada tangisan, bukankah
berarti tak ada senyuman?
Ia
tersenyum. Bahwa ia mati tanpa membuat orang lain bersedih. Entahlah, mungkin
yang ia sesali adalah ketika tubuh kakunya itu membuat keributan di tengah kota
yang selalu saja bising oleh suara kendaraan dan teriakan tukang parkir. Oh,
lihatlah wajah mereka yang mengerubungi mayat pria itu, semuanya tampak sinis.
Mungkin, bagi mereka kematian haruslah pada tempatnya. Tidak boleh sembarangan
karena itu akan merusak ketertiban kota yang mereka cintai itu.
Tubuh
pucat itu pun dibawa. Entah oleh siapa, entah kemana.
Oleh:
Qur’anul Hidayat Idris
28 November 2012
28 November 2012
Ikuti
saya di twitter
gambar dari sini
1 komentar:
Kamis, Desember 06, 2012
Dayaaaaaaaaaaaaaatttttttttt............
hah. jelous tengok blog mu.!
Posting Komentar
Selesai baca, tinggalkan jejak ya!