Belum pernah kudengar nama ini sebelum akhirnya sebuah buku sampai ketangan, diberikan Adin, Direktur Hysteria untuk dibedah. Aku sempat mengeluh melihat buku tebal itu, bukan karena tidak suka membaca, tapi lebih dikarenakan siangnya aku baru membeli 5 buku baru—yang juga tidak tipis—yang sudah kuurutkan jadwal bacanya.
Urutan segera kuganti, buku ‘Asep Sambodja Menulis’ segera kubaca, sesuai tabiatku dalam membaca buku, tak pernah aku melompat dari bagian ke bagian, aku harus tahu bahkan dari kata pengantarnya sekali pun. Terbukti, kutemukan jawaban dari pertanyaan, “kenapa buku ini harus kubaca?”. Nama asing itu mulai ku kenal sebagai sosok berpandangan objektif terhadap sejarah dan melakukan kerja mulia agar supaya kebohongan di buku-buku sejarah yang menjadi doktrin dari generasi ke generasi dapat terkikis, sedikit demi sedikit. Aku juga baru tahu, tokoh yang baru kukenal itu sudah menutup pengabdiannya di dunia, khususnya perjuangan—belum selesai—mengoreksi fakta sejarah.
Generasi yang hidup pra-tragedi 1965-1966 adalah pendengar dongeng yang dihembuskan oleh rekaman-rekaman peristiwa. Apa jadinya ketika doktrinisasi menjadi bahan masakan yang tersantap habis tanpa ada yang mencegah dan menegah, untuk mengoreksi dan menyadarkan bahwa proses perpolitikan ketika itu mempunyai kekuatan yang sangat besar, bukan saja untuk membunuh manusia, tapi juga membunuh suara—media aspirasi.
Penulisan sejarah saat itu dapat dikatakan sebagai mediator untuk melengkapkan pembenaran terhadap perbuatan keji yang telah diperbuat. Generasi setelah tragedi disiapkan untuk ikut pada satu jalan yang telah diskenariokan, tak lain bertujuan agar tak banyak suara kritikan yang muncul, dan di masa depan, kekejian tersebut tetap bertahan menjadi kebenaran.
Secara umum, penggubahan fakta sejarah itu bisa dikatakan berhasil, jika melihat bagaimana pihak yang ‘dikutuk’ oleh ‘yang terkutuk’ hidup seperti sampah yang bau dan harus disingkirkan keberadaannya. PKI tidak sepenuhnya benar, tapi PKI tidak sepenuhnya salah, lalu penggubahan sejarah berhasil membuat PKI dilatenkan sebagai virus bangsa, dari generasi ke generasi.
Pembantaian massal yang terjadi pada tahun 1965 disebut sebagai tragedi terburuk yang pernah ada di peta sejarah Indonesia. Angka korban tewas tidak bisa disebutkan secara pasti, namun diperkirakan setidaknya ada setengah juta orang dibunuh. Anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) mendapat hal serupa, bahkan selain dibunuh, mereka diperkosa. Seratusan ribu orang ditahan tanpa diadili secara jelas. Bahkan, keturunan PKI dari generasi ke generasi yang tidak telibat dan tahu menahu ikut dibebankan hukuman dengan pembunuhan karakter.
Asep Sambodja merekam dengan sangat baik polemik sastra terbesar yang pernah ada di arena kesusastraan Indonesia. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan moto ‘politik sebagai panglima’ ditentang oleh kelompok yang tergabung dalam Manikebu (Manifes Kebudayaan) dengan paham ‘humanisme universal’. Lekra yang dianggap bagian dari PKI dikecam dan ikut menjadi korban dalam tragedi ’65.
Hadiah Magsaysay yang diberikan kepada Pramodya Ananta Toer menjadi sasaran kritik dari penyair Manikebu, mereka memertanyakan keabsahan even tersebut karena menobatkan penyair Lekra yang dikecam dengan tindakan kekerasan dan pembakaran buku sebagai seorang yang patut dihormati di dunia sastra.
Tidak hanya membicarakan polemik seputar Lekra dan Manikebu, Asep Sambodja juga menulis tentang polemik antara Boemipoetra—jurnal sastra—dengan Goenawan Muhammad dan TUK (Teater Utan Kayu). Jurnal tersebut mengkritik keras GM dengan tuduhan sebagai media masuknya paham liberalisme dalam kebudayaan. Saut Situmorang adalah yang paling sering muncul dengan artikel-artikel dalam jurnal tersebut, menganggap ada sesuatu dibalik terpilihnya Ayu Utami sebagai pemenang sayembara novel IKJ dengan novel Saman. Mereka juga menolak adanya sastra kelamin.
Asep Sambodja yang juga hidup pra-tragedi ’65 rupanya tidak terkena doktrinisasi penguasa prihal kebenaran yang dihembuskan selama ini. Ia mengungkapkan, pembunuhan massal tersebut bisa saja karena keinginan besar Soeharto untuk merebut kekuasaan tertinggi. PKI adalah simpatisan Soekarno yang sangat mendukung paham Nasakom-nya, tentunya massa yang besar ini harus dikurangi agar jalan menuju kekuasaan semakin mudah.
Membaca buku ini, membawa kita pada perspektif lain sejarah, kita dibenturkan oleh pengetahuan umum dan kenyataan gamblang yang diungkapkan, bukan semata dongeng, namun berisikan kekuatan fakta tertulis.
Selamat jalan, Asep Sambodja
Peringatan
Jika rakyat pergi
Ketiika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Wiji Thukul
Solo, 1986
Ditulis oleh Qur’anul Hidayat Idris untuk acara bedah buku Asep Sambodja Menulis, yang diadakan komunitas Hysteria dan Dekase tanggal 12 April 2011
0 komentar:
Posting Komentar
Selesai baca, tinggalkan jejak ya!