Ada saatnya ketika saya terasuk oleh puisi sederhana. Tadi pagi aku menerima sebuah puisi yang di telentangkan kawanku Alfikry Ilmi di dinding FB. Pagi sekali, sebuah sajak pendek yang judulnya membuat perut juga nalar puisiku bermain-main. Semoga saja besok FB tidak benar-benar ditutup ya, karena saya akan sangat merindukan momen seperti ini, dimana sebuah puisi mengajak bahkan memaksa untuk menuliskannya kembali dalam uraian sederhana.
Terniat juga mencubit pipi Alfikry Ilmi karena dia tidak men-taq puisi ini, tapi apa pun caranya sudah terjadi sambung pertemuan antar aku-puisinya. Puisi dibawah ini bisa dibilang sederhana kalau dilihat dari pemilihan kata, namun mempunyai keliaran imajinasi yang memunculkan spekulasi pada pencarian makna di dalamnya. Pelarikannya juga begitu bagus sehingga antara satu dengan yang lain saling menguatkan serta memberi dampak emosional yang pas, juga ‘menggantung’ pada ending-nya. Satu hal, aku benar-benar menjadi ‘lapar’ ketika membaca Asam Pedas yang menggelayut pada judul.
Asam Pedas dalam Belanga (refleksi puisi Holy Adib yang berjudul : Gulai Ikan)
: Holy Adibz
Aku bukanlah orang yang mencuci tangan pada suapan pertama.
Bukan sebatas lapar atau basa-basi
pinggan-pinggan kotor itulah yang jadi penyaksi.
Lidahku kau buat menari
masih juga mencari-cari
di manakah kau sembunyikan api
yang nyalanya bakar bibir dengan sembunyi.
Gulai ikan asam pedas dalam belanga
masihkah tersisa kuahnya?
peneman nasi untuk cerita esok pagi.
Alfikry Ilmi
Padang, 14 Maret 2011
Puisi ini adalah sebuah refleksi, begitu menurut Alfikry yang tertera disamping judul. Berawal dari sebuah puisi Holy Adibz. Saya memang belum membaca puisi yang menjadi akar puisi ini lahir, sebuah refleksi. Namun sebuah puisi adalah dirinya sendiri terlepas darimana ia terlahir, kecuali yang bersifat jiplakan. Saya akan fokus pada puisi ini dengan melihatnya sebagai tubuh yang utuh.
Yang ingin disampaikan sebuah puisi jelas tidak akan segampang menciduk gulai dalam belanga. Namun, sebagai pembaca kita bisa merasakan puisi-puisi yang memiliki power dan kekuatan sihir yang bisa menarik tubuh yang fana ini kedalam teks. Tidak perlu teks yang panjang, bahkan sebuah kata ‘pulang’ saja bila diletakkan pada konteks yang pas akan menimbulkan esensi yang melebihi panjangnya puisi berbeda yang mungkin juga menggunakan kata yang sama.
Sutardji Calzoum Bachri beberapa waktu lalu menulis begini di statusnya. “…semakin minim kata2 dlm sebuah sajak semakin besar pula harapan yg dituntut pada tiap kata, dan semakin bersuara pula sesuatu yg tak dituliskan. Dgn kata lain menulis sajak sangat pendek (minim kata) adalah upaya untuk lebih menampilkan sesuatu yang tak dituliskan. Jika yg tak dituliskan masih tetap bisu, maka sajak itu gagal”
Ungkapan Presiden Penyair kita ini semakin memertegas betapa kata tidak diletakkan secara main-main tanpa perlu penempatan yang pas. Kerap terjadi pada saya atau penyair yang baru belajar lainnya adalah menulis dengan terlalu melimpahkan semuanya pada kemengaliran kata-kata untuk selanjutnya diterima tanpa mengeksekusi kata tersebut sebelum dipentaskan ke dunia pembaca. Semakin sedikit kata dalam sebuah puisi maka tanggungjawab kata tersebut semakin besar untuk menyampaikan hasrat teks maupun non-teks kepada pembaca. Saya menganggap yang diinginkan puisi ada dua. Pertama, keinginan pada tubuhnya sendiri (teks). Kedua, keinginan pada penyairnya (non-teks).
Kata memiliki mantra, yakinlah itu.
Membaca judul puisi di atas menghadapkan kita pada sebuah deskripsi benda (Asam Pedas) dan tempat yang mewadahi benda tersebut (Belanga). Judul yang segar ini sama sekali tidak menunjukkan geliat eksistensi teks karena kita belum dapat membaca pesan apa yang ingin disampaikannya. Berbeda mungkin ketika kita membaca judul “Kehilangan”. Sekilas kita sudah menangkap penjurusan isinya. Judul itu sangat krusial dalam menarik pembaca ke arena isi, judul ini sanggup menimbulkan spekulasi kenakalan isi dan pertanyaan “retorika apa yang akan terwujud?”
Aku bukanlah orang yang mencuci tangan pada suapan pertama.
Eksistensi Aku mulai menampakkan diri sebagai subjek yang mengolah beberapa objek. Kenakalan pada baris pertama ini jelas jadi mantra bagi saya, menunjukkan arah dari puisi ini. Jika kita ingin membayangkan kejadian dramatis dalam puisi ini maka kita akan pergi ke tempat meja makan—jika modern—atau di lantai dengan alas tikar. Lalu si ‘Aku’ menguatkan pada lawan makannya—bisa aku, kau atau fiktif—bahwa ia tidak akan menyudahi apa yang sedang berlangsung dengan tergesa-gesa. Tak peduli dengan siapa yang didepannya atau sebab apa pernyataan eksistensialis ini harus diutarakan.
Jika kita menyambung cerita, penguatan ‘Aku’ berlanjut ke baris berikutnya. “…Bukan sebatas lapar atau basa-basi”. Sudah terlihat unsur emosi pada baris ini, semakin memertegas pada orang yang berkepentingan di depan bahwa ia tidak menghadap makanan itu untuk kemudian meninggalkannya, ia tidak sedekar ingin makan atau berbasa-basi, ia ingin sesuatu dari proses yang sedang berlangsung.
Kita percaya, seseorang bakal percaya jika ada bukti, maka si ‘Aku’ dengan tegas memberikan buktinya. “…pinggan-pinggan kotor itulah yang jadi penyaksi”. Baris ini adalah pembuktian pada baris pertama, bahwa yang tahu bahwa si ‘Aku’ telah menhabiskan makanan yang ada di depannya. Lalu tentu kita bertanya, kenapa eksistensi puisi melakukan tindakan ‘emosional’ tersebut? Mungkin ada sangkut pautnya dengan percakapan yang terjadi sebelumnya. Mari kita simak.
…
Lidahku kau buat menari
masih juga mencari-cari
di manakah kau sembunyikan api
yang nyalanya bakar bibir dengan sembunyi.
Baca teks diatas berulang-ulang, kau akan melihat betapa percakapan telah terjadi sebelum ‘Aku’ melontarkan amunisi pada tokoh kedua yang dipertegas dengan kata ‘kau’. Disinlah letak puncak puisi kawan kita ini, dengan rima yang begitu terjaga juga pengumpulan jawaban dari bagian di atas.
Teks sepertinya ingin menjelaskan betapa percakapan yang mengandung ‘api’ akan berdampak negatif. Dalam hal ini medium dari percakapan adalah bibir yang digunakan dengan tepat. Lalu apa percakapan tersebut? Itu hanyalah rahasia non-teks, penyair berperan dalam hal ini. Ini adalah pesan yang sangat sederhana sebenarnya, namun diolah kedalam dunia teks yang sungguh memesona dengan memakai proses sewaktu makan.
Bagian akhir adalah retorika penutup yang menurutku agak melemahkan puisi di atas. Aku membayangkan puisi ini ditutup hanya dengan dua baris terakhir.
…
Gulai ikan asam pedas dalam belanga
masihkah tersisa kuahnya?
Ini memang persoalan selera. Alasan saya karena kata baris terakhir akan membuyarkan kekuatan spekulatif di atas, dan pengakhiran dengan pertanyaan akan menimbulkan spekulasi yang ada berputar dalam imajinasi yang berliuk-liuk. Masih tersisa boleh jadi memertanyakan kesabaran yang ada disebabkan percakapan di atas atau secara sederhana proses terhadap makanan tersebut tuntas pada pengahiran jamuan.
Sekali lagi, kata memiliki mantra
Semarang, 14 Maret 2011
Qur’anul Hidayat Idris
sumber gambar: klik di sini
0 komentar:
Posting Komentar
Selesai baca, tinggalkan jejak ya!