…. Dan Aku Menyerah Pada Kenangan (Pengalaman Menonton Film Kambing Jantan)

Selasa, 08 Februari 2011
Share this history on :

Aku baru saja selesai nonton Film Kambing Jantan, sebuah film yang diangkat dari blog dan bukunya Raditya Dika. Sebenarnya aku nggak terlalu senang dengan Raditya Dika, mungkin karena menurutku—ini subjektif sekali—guyonan Dika tidak mampu mengocok perutku sekeras atau sekencang Hilman Hariwijaya dengan Lupusnya. Hm, memang ini sungguh subjektif dan tidak beradap, haha. Namun begitulah apa adanya. Lalu pertanyaannya ‘kenapa film Kambing Jantan Dika kutonton?’. Kuberi kalian dua jawabam. Pertama, karena tidak harus ketidaksukaan dijadikan alasan kita memalingkan muka dan menjauh, dalam kasus ini, apa salahnya kalau kuuji ketidaksukaanku dengan media lain—film—setelah membaca komik dan sekilas bukunya. Kedua karena seseorang sangat menyukai karya Raditya Dika, alasan yang paling konyol tapi sekali lagi harus kuucapkan secara apa adanya—sedikit cerita—saat aku di tempat penyewaan VCD sekitar 15 jam yang lalu (sekarang jam 05.08 pagi dan belum tidur) dengan sangat tidak sengaja dan tanpa diminta mataku terhenti pada judul film yang kusebutkan di atas, dan entah mengapa itu mengingatkanku pada seseorang, ya seseorang yang tidak perlu kusebutkan. Yang jelas sebelum ke tempat penyewaan VCD itu aku menulis status di FB dengan tidak biasa.. “entah mengapa, akhir-akhir ini aku menyesal telah mengenalmu, sungguh!”. Kubilang tidak biasa karena isinya semata tawuran perasaan yang tidak perlu dibaca halayak ramai. Tapi ya sudahlah. (mu) yang kumaksud itu adalah seseorang yang menjadi alasan di atas.


Sekitar satu menit aku melihat VCD itu tanpa memegangnya dengan otak yang berkecamuk “pinjem nggak, kenapa harus minjem? Kenapa juga gak harus minjem? Pinjem nggak.. ah pinjem aja” akhirnya kata terakhir itu yang kuturuti. Aku meminjam empat VCD—kalau ada waktu luang bakal kuceritakan pengalaman menonton film yang lainnya pada kalian. Pilihan pertamaku sebenarnya jatuh pada film karya Om Dedy Mizwar ‘Betapa Lucunya (negeri ini)’. Aku senang film yang cerdas dan mengandung unsur kritik didalamnya. Yang kedua Astro Boy dan yang terakhir The Warrior and The Wolf. Tapi anehnya entah setan atau malaykat apa yang menggodaku untuk menjatuhkan pilihan untuk menonton Kambing Jantan pertama kali, ironis dan aneh, bahkan aku mulai curiga  dengan indikasi yang ditunjukkan ini.

Yah, apa mau dikata, setelah keluar jam dua malem cari makanan bareng Mas Sandy—nanti juga kuceritakan pria satu ini—akhirnya kuputar KJ (Kambing Jantan) di laptop… Sreett sreet sreeeeeeeeeet (bunyi apaan tuh? Ah, bodo)

Kukatakan bukan di alasan pertama kalau melihat sesuatu yang tidak terlalu kita sukai menjadi ajang pembuktian ketidaksukaan tersebut. Nah akan kusebutkan apa yang kurasakan setelah menonton secara jujur bin jujur:

  1. Film ini ingin mengintrepetasi kelucuan yang diciptakan Dika dalam blog dan Novelnya kedalam area visual yang sayangnya tidak mendapat tempat pada karakter pemain yang memerankan tokoh. Kesannya terlalu dibuat-buat, kaku dan pada akhirnya aku tercenung bertanya “kok malah tokohnya yang ketawa, aku nggak?” ya! Ini seperti komedi yang tidak berhasil. Memang benar, cerita sekelas Lupus pun jika dihadapkan pada pemain yang  tidak membuahi karakter dalam tulisan akan merubah teste penikmat, dan titik kelemahannya ada disini, pemeran jauh dari intrepetasi tokoh yang dibikin Dika, bahkan—maaf—Dika yang memerankan dirinya pun tidak terlalu membuahi karakternya sendiri.  
  2. Kata anak jaman sekarang, sesuatu yang dilebih-lebihkan itu disebut ‘lebay’ dan pelebihan atau penambahan adegan yang melebih-lebihkan pada cerita yang masuk pada konteks realis (cara bertingkah, berbicara, berjalan, berinteraksi, berlakon) akan merusak intrepetasi dan menimbulkan kesan ‘ah, terlalu dilebih-lebihkan’. Bila kesan itu dimaksudkan untuk membuat kelucuan, menurut aku agak keliru. Karena lucu yang paling hebat adalah ketika yang biasa dan paling sederhana tapi mampu membuat penonton terpingkal-pingkal—kalau perlu terkencing-kencing. Tentu ini tidak semua adegan, ada segelintir adegan—seingatku dua—yang berhasil membuatku tertawa sedikit terpingkal tidak terkencing-kencing, hehe. Pertama, ketika Dika berpakaian kambing untuk menampilkan seni jalanan—kaya’ pengamen—di Australia, dengan sangat sederhana Dika dengan kostumnya membuat gerakan-gerakan seperti kambing, dan lucunya ini bagiku sangat lucu, lucu bukan? Yang kedua ketika Kebo dan teman-temannya yang baru masuk ke Sastra China getol menampilkan budaya yang mereka pelajari di tempat yang tidak tepat, dan ini juga tidak sampai terkencing-kencing.
  3. Yang aku suka dari film ini adalah penyelipan berbagai macam kebudayaan, China, Jepang, Australia, India bla bla bla dan tentunya Indonesia. 
  4. Berbicara masalah percintaan antara Dika (kambing) dan Kebo (pacarnya). Pesan yang dapat diambil adalah “pacar bukanlah segala-galanya”. Dika salah dalam menempatkan Kebo—gak tau nama aslinya—sebagai orang yang sangat penting bahkan super penting baginya, membuatnya bela-belaan menghabiskan uang saku hanya untuk nelepon, malas belajar dan yang terparah bela-belain balik ke Indonesia Cuma buat bilang “aku Cuma bisa bilang MAAF” saat Kebo mencium aroma perselingkuhannya dengan Ine. Untungnya ending cerita ini lumayan dapat untuk mempertegas pesan itu. Dika tidak menuruti keinginan Kebo yang memintanya kembali ke Indonesia saat hari ulang tahunnya, dan dia meneruskan keinginannya pada hari yang sama meluncur ke Melbourne dengan kata penutup “hidup harus terus berjalan!”. Selamat buat ending ini Dika…
 

Aku bahkan tidak lega setelah menonton ini! Seseorang yang kita temui dalam kehidupan memang membawa warna yang tidak kita miliki, dan terkadang kita menginginkan warna itu ada dalam kehidupan atau kita menginnginkan warna yang sama ada pada diri seserang menyatu dengan warna yang kita punya. Entahlah, menyesal telah mengenal seseorang memanglah wajar kita rasakan, karena secara tiba-tiba kita menganggap akan lebih baik dengan tanpa mengenal seseorang itu. Namun kita bukanlah Doraemon, kita selalu menyerah pada perjalanan waktu.


Pertanyaan terakhir yang membuatku tidak habis pikir adalah
“kenapa aku menonton film yang dibuat oleh orang yang disenangi seseorang yang kubilang menyesal telah mengenalnya?”


Rumit kawan, karena begitulah hebatnya kenangan, dan aku menyerah pada kenangan…..



Semarang  (Kamar kos lusuh), 08 Februari 2011
Qur’anul Hidayat Idris

Related Posts by Categories

1 komentar:

Anonim Says:
Selasa, Februari 08, 2011

'cause tell is a need and write is a life. just write what u feel and someday someone will finding something about urself.

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!