aku mengakui
sentuhanku tak seromantis air
yang membelai batu
hingga lena
dan terkikis sampai habis
aku menyadari
pandanganku tak seromantis air
yang menjadi cermin bagi karang
lalu mengelupasinya
tanpa mata dan rupa
aku sanggup mengata
sunyiku tak seromantis air
yang tenang waktu siang
menggenggam malam dengan pasang
bergelombang
aku sudah mencatat
rengkuhanku tak seromantis air
yang mengabarkan sebuah langit lain
lalu berubah tawar dan asin
pada dua buah samudera
aku sudah mendikte
sari hidupku tak seromantis air
yang jadi perisai hidup
kenaifan berlaku
padanya larut dan surut
aku, lalu menggambar
lukisanku tak seromantis air
yang mengajak sekawanan burung
lalu bersama bersenda ria
di tengah samudera yang mencinta
aku sudah mengakui itu
namun,
bila aku jadi air
tak ku kikis kau sampai habis
tak ku kelupasi wajah dan rupamu
tak ku gelombang kau di malam-malam
tak ku adu kau pada dua samudera
tak ku naifkan pada larut dan surut
tak ku senda kau bersama burung melata jalang
aku memang tak seromantis air
tapi aku lebih mencintaimu daripadanya
Tembalang-Semarang, 05-04-2010
02.45 (disubuh aku mengelana)
Qur'anul Hidayat Idris
0 komentar:
Posting Komentar
Selesai baca, tinggalkan jejak ya!