Perasaan Itu Air: Petak 3 (Mengembun)

Selasa, 27 April 2010
Share this history on :

Semenjak itu, aku dan,,



Semenjak itu, aku dan dia “gadis” seperti terdampar dalam secangkir kopi susu, manis, putih dan kental. Perkara perdebatan tentang memutuskan keberangkatan ke Jogja kemaren telah membuat aku tidak sekedar ingin tahu namanya atau menganggapnya sebatas salah satu dari 72 sahabatku di kelas. Tidak, kami mulai terikat hubungan yang intens. Sebagai sahabat tetap, namun seperti kubilang keseringan untuk bersua, bertegur sapa atau pun berdiskusi hebat, malah kadang terlampau hebat.

Kedekatan yang intens itu bukan terjadi dalam sebuah ruang real, face to face. Tapi itu semua terbentur di alam yang namanya :layarkaca. Tak perlulah kusebutkan apa itu, yang jelas kami semakin gila dikarenakannya. Dia menulis dan aku menulis, kita sama-sama menulis, lalu serang tulisan itu dengan mata bedil, tajam dan keluar dari bidikan yang kadang tepat, kadang tidak. kusebutkan apa ya untuk mereka-reka perasaan setelah bedil itu lepas landas. Namun yang jelas adalah tanda tanya (?).

Kerap beberapa setelahnya barulah ngeh bahwa kami menggelinding dan benar-benar merengek di setumpuk tanda tanya yang jawabannya mengambang dan tak pernah, kembali, tereka-reka. Semuanya mengembun di sepanjang jalan yang kadang buntu, kadang penat dan kadang terbuatkan kapal menjelajah sukma. Jarak memang merekak dan tak mampu mendekatkan apa pun, namun tak kusangka pada suatu malam jarak terbakar oleh kuatnya air yang mengembun itu, menghasilkan penggelembungan, penguatan ekstra dan akhirnya. MELEDAK.

Tak pernah direncanakan, itulah topik yang hari-hari kita bikin dalam judul pertemuan “tanpa rupa” itu. :layarkaca memang tak jujur, tapi tak tertampikkan sebuah sungai telah terbuatkan dari embun-embun perasaan. kusematkan sedikit padamu tentang malam peledakan itu. aku menulis 12 Pas, tak tersangkakan olehku aku diserang dengan bedil yang ter-prepare begitu rapi, menawan dan tepat membidik arah tuju. Aku tertantang? Entahlah, atau lebih kepada tersinggung tanda tanya waktu itu. maka tanpa sedikit pun menyentuh kata-kata yang masih mengepul, aku membalasnya dengan dua buah rudal yang kubuat semakin rapi dan semakin cantik. Aku terkikik, waktu menunggu kami tak kurang, tak lebih beberapa menit dari pelepasan rudal untuk mencandai otak yang meramu pada perudalan dan pernukliran. Aha, benar, sehabis itu ia tidak menyerang aku kembali dengan rudal tiga atau kembar seratus. Ia konsisten, tetap satu. Namun itu sebuah nuklir.

Bertanya aku, kemana ia mencuri dan mengokangnya?
Aku tak dapat mengelak, kurasakan embun di tubuhku merebak dan bergolak-golak. Dan kutulis, kalau malam itu tak dapat terpungkiri adalah saat kami sama-sama meledak, kehabisan rudal dan persenjataan, tidak ada kata menyerah namun berakhir malu dan ragu pada tanda tanya (?) yang semakin menggajah, membulat namun tak tentu apa jawaban. Artinya tetap, dia dan aku sama-sama tak tahu semua yang terkantong dilemari hati. Kita diam dijarak bisu, menunggu pada serangan terakhir. Dan tersiksa oleh tanda tanya (?).



Tak kuhitung berapa rudal yang terlesap dan berapa nuklir yang meledak, namun tak kusangka itu telah sangat menjadikan dia dan aku terpekik dan terpenjara dalam ketidaktahuan yang nyata. Berpura-pura tak pernah terjadi malam itu, dan berlanjut terus dalam menggugah perisai. Nah, itulah yang kusebut :layarkaca. Semua diibaratkan seni semata yang tak tampak pada dua rasa yang beradu pada sebuah cangkir kopi. Berpura-pura, adalah mainan resmi dan sah, tak ada yang melarang, karena dunia yang ada begitu memiliki dunia sebenarnya dan tak mampu untuk membantah. Semua hanya lapah yang tak pernah jarah, semua ingin mengadu, tetapi aduan terbentur di dunianya sendiri, tak menemukan jawab, hanya menambah tumpukan tanda tanya (?) yang berkendi-kendi sudah.

Waktu sangat jauh rupanya, kuganti beberapa nominal setiap hari, hanya untuk menjenguk seberapa jadikah persenjataannya. Aku mengintai, agar pada saat menyerang tak kalah aku. Kubilang sekali lagi, kita memang tak beradu pada jarak mata yang terangkap, namun tak tertampikkan ada dua rasa yang bercampur menghasilkan aroma, dan itu tak dapat dimengerti.



Ini awal, awal tentang pengawalan perasaan yang berluka-luka
Mengembun dan menjadi titik air
:hujan






Tembalang-Semarang, 26 April 2010
Qur’anul Hidayat Idris

Related Posts by Categories

2 komentar:

desta dan negeri senja Says:
Jumat, April 30, 2010

dia menulis dan aku menulis, kita sama-sama menulis, lalu serang tulisan itu dengan mata bedil, tajam dan keluar dari bidikan yang kadang tepat kadang tidak, kusebutkan apa ya untuk mereka-reka perasaan setelah bedil itu lepas landas. namun yang jelas adalah tanda tanya (?)

--sebuah analogi--
ya, tepat :)

Kampung Karya Says:
Minggu, September 19, 2010

aku baru bacanya skrg lho, jadi pengen ngakak!

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!