Banyak cara untuk merasakan hangatnya sebuah pertemuan, pertemanan, dan sebuah hubungan. Bisa saat sekadar menyaksikan sebuah senyuman, lelucon, kejailan, atau bahkan saat di warung makan. Setelah sekian lama meninggalkan blog ini (baca: lama) aku "tergelitik" untuk tidak bisa menolak menulis sebuah fragmen kecil dari "persahabatan kecil" kami.
Pertama
Hari itu kami berenam pulang dari rutinitas kejurnalistikan, melewati hari melelahkan, dan tanggung jawab yang "menempel" di jidat masing-masing. Hal menarik ketika pulang larut malam dari kampus yang sebenarnya tak membolehkan kami berlarut-larut--dan kami merasa ruang diskursus kami pun terpenggal. Rencana kecil untuk santap malam bareng di suatu tempat makan sederhana menjadi agenda menarik. Kami tak punya tempat favorit memang, berpindah-pindah merunut dan menurut selera saja.
Tibalah kami di tempat makan yang membawa-bawa "kempisnya kantong mahasiswa" sebagai target promosi, dengan sugesti "HARGA MAHASISWA". Ya, sesuatu yang sulit disangkal memang, seorang mahasiswa yang "dijatah" uang perbulan memang selalu saja mengalami masa "sret" di akhir bulan. Tibalah kami ke tempat makan itu. Sedang ramai pelanggan ternyata.
Meja lesehan yang hanya cukup untuk dua orang--berhadap-hadapan--akhirnya kami susun sebanyak tiga buah. Ritual pertama tentu saja memilih-milih menu (baca: menyesuaikan dengan kantong). Setelah pesanan di transfer ke kasir, obrolan "sana-sini" pun mengalir. Mulai dari hal tak penting sampai hal-hal yang mungkin sedikit penting.
Perut lapar, sepuluh menit kemudian pesanan tak muncul. Ah, wajarlah, pikir kami.
Garuk kepala, dua puluh menit kemudian pesanan pelanggan yang datang setelah kami malah didulukan. Sabar.. sabar, batin kami lagi.
Kami sudah tak sanggup menahan campuran rasa "lapar dan kesal" setelah setengah jam menunggu. Salah seorang teman mencoba mengirim pesan elektronik ke nomor "pengaduan protes" yang ditempel di dinding warung makan. Taraa, secepat kilat kami mendapat balasan, "sedang dibikin mas!". Kompak kami membatin, "Apakah mereka menyiapkan pegawai yang khusus dibayar untuk membalas sms?". Sms protes selanjutnya pun dibalas secepat kilat dalam hitungan detik. Waw!
Kami mulai "rusuh", dan keluarlah kalimat-kalimat protes yang keluar "cukup keras" dari mulut-mulut kelaparan.
"Woi lapar woooii"
"Aduh, kok itu yang datang setelah kita udah mau pulang aja!"
"Sepertinya kehabisan nasi tuh!"
"Ini mah nunggunya sejam, makannya lima menit!"
Para pedagang itu tampak agak tertekan, walau pun tetap "tak peduli perasaan pelanggan!" Setelah kejadian tersebut kami sama-sama berikrar, "ENGGAK LAGI DEH MAKAN DI SITU!".
Kedua
Tempat makan ini merupakan rekomendasi Achmad yang yakin benar itu merupakan destinasi perut yang gak bakal mengecewakan. Jadilah kami ke sana, tempatnya memang lebih jauh jaraknya kalau diukur dari kampus. Cerita bermula ketika Ipul tampak sudah sangat kelaparan. Kami berlima meninggalkannya yang terpaku melihat "pak koki" dengan obrolan "sana-sini".
"Siapa yang mesan rica ayam?" Tanya Achmad
"Kami" ucap Hasna mewakili dirinya dan Desta
"Aduh salah posisi nih!" Pungkas Achmad yang kesal karena duduk tersekat Diaz untuk dapat "meneror makanan" yang telah ia incar dari minggu lalu.
"Posisiku empuk nih!" Ucapku yang berhadapan langsung dengan dua orang pemesan "si rica" yang nyengir kunyir.
Ipul yang jadi pendiam karena kelaparan beruntung karena pesanannya tiba paling pertama. Berurutan dua porsi rica yang "disantap bareng". Nasi goreng rempela ati dan nasi goreng ruwet menyusul terakhir. SAATNYA MAKAN.
Tak seru rasanya jika proses makan kami tak ditambah dengan sedikit "kerusuhan". Di antara semua pembeli yang makan di sana, meja kamilah yang paling bising. Saling sendok "piring sebelah" atau prosesi icip-icip terus mengiringi.
"Masih lama kan?" Dengan muka agak melas Ipul yang sudah berdiri bertanya pada kami semua dan tak perlu dipertanyakan lagi kami sudah tahu kalau ia belum memenuhi "standar kenyang" perutnya. Untunglah di depan warung tersebut ada warung burjo, ia pun membeli bubur kacang ijo. Aneh memang.
"Kok belum kenyang nih, padahal nasinya banyak loh!" Desta menggerutu, padahal sebelumnya ia tak pernah makan sebanyak saat itu. Ajaib!
Nasi gorengku habis, dan pengen mencoba nasi goreng Alfu yang "dikerubungi" banyak sendok. Aku berdiri, menyendok, membawa sendok yang telah terisi kembali ke piring. Sayang, di tengah perjalanannya sendok itu menjatuhkan beberapa butir nasi ke dalam... es teh Alfu. Aduh.
Kejadian ini cukup membuat orang-orang di meja sebelah melirik ke arah kami. "Ah bodo!" pikirku.
-------------------------------------------------------
Simple stories, right?
Banyak cara untuk merasakan hangatnya sebuah pertemuan, pertemanan, dan sebuah hubungan. Jadi, jangan batasi dirimu dengan seperangkat aturan yang memotong cerita menarik yang seharusnya ada dalam buku catatanmu.
Selamat malam.
Salam hangat, QHI
6 komentar:
Jumat, Mei 25, 2012
JAdi pengen nyobain nasi goreng Alfu juga..
Jumat, Mei 25, 2012
Makan keroyokan memang seru kok....kadang secara sengaja pesan enu yg berbeda2 dengan kesengajaan nati bisa gantian saling mencicipi sehingga sekali makan bisa menyantap beberapa jenis menu...
Jumat, Mei 25, 2012
Iya nich sudah lama ngak nulis diblog :)
Merasakan hangatnya sebuah hubungan maya juga bisa lewat membaca tulisan ya :) Apa khabar?
Jumat, Mei 25, 2012
heheh insiden nasinya nyemplung di sendok, ok juga tuh,,,
ya slalu ada cara untuk menghangatkn suasana...(cocok nih buat iklan teh)^^
salam ukhuwah..
Jumat, Mei 25, 2012
Dapatkan info lomba kontes terbaru atau submit info lomba dan kontes Anda di http://info-lomba-kontes-terbaru.blogspot.com
Jumat, Mei 25, 2012
hayo, gantiin es tehnya alfu tuh yat :D
yang desta, gimana bisa kenyang, kalo makanannya dirubungin banyak orang, haha
nanti kita makan2 lagi yuk :)
Posting Komentar
Selesai baca, tinggalkan jejak ya!