LA NOCHE DE LAS PALABRAS
(EL DIARIO DE MEDELLIN)
Sutardji Calzoum Bachri
Di cafe jalanan Noventa Y Sieta, Medellin, Columbia
kami mengepung bulan
dan mereka yang mendengarkan puisi kami
mencoba menaklukkan bulan dengan cara mereka
berkomplot dengan anggur daun cerbeza
bersekongkol dengan gadisgadis
memancing bulan dengan keluasan dada
Musim panas
Menjulang di Medelin
menampilkan sutera
di keharibaan malam cuaca
ratusan para lilin
menyandar di pundak malam
mengucap
menyebutnyebut cahaya
sambil mencoba
memahami takdir di wajah-wajah usia
kami para penyair
meneruskan zikir kami
-palabras palabras palabras palabras
-
--kata kata kata kata --
semakin kental mengucap
cahaya pun memadat
sampai kami bisa buat
sesuka kami atas padat cahaya
lantas bulan kesurupan
kesadaran kami meninggi
bulan turun pada kami
dan kami mengatasi bulan
sampailah kami pada kerajaan kata-kata
jika kami membilang ayah
ia juga ayah kata-kata
jika kami menyebut hari
juga harinya kata-kata
jika kami mengucap diri
pastilah juga diri kata kata
Di cafe jalanan Medellin
purnama jatuh
kata-kata menjadi kami
kami menjadi kata kata
Medellin, Colombia 1997
PROLOG
Puisi Sutardji ini baru pertama kali kubaca, namun daya gedor imaji serta pesan yang termaktub sebenar-benar membuatku penasaran dan agak ‘grogi’ untuk berani mengolahnya. Alam bawah sadarku berhasil memberiku sebuah sketsa yang pada awalnya tak kumengerti, mengaitkan hubungan yang diciptakan pengarang.
Pola imaji yang kubuat di atas bisa saja dibilang mengada-ngada, namun kebenaran dalam puisi adalah ketidakbenaran itu sendiri, maka sah-sah saja pola tersebut dimasukkan dalam salah satu kebenaran atau ketidakbenaran.
Subjek pertama dalam puisi ini adalah kami, subjek kedua adala mereka. Yang menjadi objek adalah cahaya, sedangkan puisi, bulan dan lilin sebagai perantara menuju objek. Kedua subjek menginginkan objek dengan coba mendapatkan perantara untuk sampai. Ketiga perantara sebenarnya diciptakan—milik—subjek pertama, namun subjek kedua coba menguntit dengan juga memakai perantara tersebut. Namun, perantara akhirnya menetapkan pilihan, memberikan jawaban kembali kepada subjek pertama sebagai pemilik tunggal untuk sampai dan mendapatkan CAHAYA.
1. LAPIS SUARA (SOUND STRATUM)
Satuan-satuan suara yang dibentuk secara khusus atau istimewa untuk mendapatkan efek puitis, estetis dan bernilai seni. Khusus untuk Sutardji, lapis ini memang sangat menonjol dalam puisi-puisinya, kerena kredonya sendiri yang menghidupkan kata-kata dalam kepribadian kata itu sendiri.
Efek puitis begitu terasa ketika membaca La Noche De Las Palabras. SCB memilih kata dengan kesan mendalam yang membentuk sebuah pola imajinya. Beberapa kata simbolis mengiringi kata bulan dalam puisi seperti mengepung bulan, menaklukkan bulan, memancing bulan, dan bulan kesurupan. Bulan menjadi objek yang diolah sedemikian rupa, kata-kata tersebut memberikan efek di luar logika namun menghidupkan keberdirian bulan dalam tubuhnya sendiri.
Para Lilin. Frasa ini kembali menghidupkan objek kedua, kata para seolah ingin menyebut ‘diri’ dalam lilin yang memiliki kehendak dan pilihan sendiri. Efek dari frasa ini seperti demam logika lanjutan setelah dihadapkan pada penghidupan bulan yang dilakukan SCB. Satu lagi frasa yang tidak boleh ditinggalkan, purnama jatuh, sangat mendalam dan tak terbayangkan bagaimana imaji yang terbentuk dari frasa ini.
Di tataran kalimat ada dua yang sangat mengejar efek puitis. Pertama, menyandar di pundak malam. Kedua, memahami takdir di wajah-wajah usia. Dua kalimat ini sebenarnya ingin memberikan gambaran makna yang sederhana, namun penggantian beberapa katanya memberikan kesan yang lebih baik, kalimat pertama menambahkan kata pundak dan menyandar, sedang kalimat kedua lebih kepada struktur imaji yang menyeluruh di setiap bagian kalimatnya.
2. LAPIS ARTI (UNITS OF MEANING)
Saya membaca, puisi di atas memberi makna tentang dunia penciptaan—baik puisi dan karya lainnya. Dua kubu yang bertentang, kami dan mereka mempunyai perbedaan muatan. Kami adalah kubu yang mencipta, membuat, melakukan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, sedangkan kubu kedua, mereka hanya dapat melihat dengan coba ‘meniru’ dan mengambil penciptaan oleh kubu pertama.
Penting bagi kita untuk memercayai apa yang ada dalam diri, mencipta sesuai dengan apa yang menjadi kepercayaan dan pegangan. Tidak perlu menjadi orang lain dalam berkarya, karena pada akhirnya apa yang kita dapatkan adalah ketaksempurnaan dan kekecewaan. Bagaimanapun yang diciptakan tetaplah memilih penciptanya, bukan orang lain.
...kami para penyair
meneruskan zikir kami...
kutipan bagian sajak di atas menunjukkan ketidakpedulian pada kubu kedua, para kami hanya berorientasi pada dunia penciptaannya dan tidak akan berhenti.
...Di cafe jalanan Medellin
purnama jatuh
kata-kata menjadi kami
kami menjadi kata kata
ending puisi ini menunjukkan hasil dari kepercayaan tersebut, keinginan merengkuh sesuatu pada akhirnya didapat oleh yang mencipta, melakukan apa yang lahir dari kepercayaannya.
3. LAPIS PENGARANG
Pada tingkatan ini, dunia pengarang masuk dalam imaji, kata dan pola yang ditampilkan. SCB adalah penyair yang keras, yang tidak terlalu mementingkan keromantisan dalam puisi seperti Sapardi Djoko Damono. Efek yang ditunjukkan selalu meletup dengan medium kata-kata yang terbilang ‘nakal’. Dalam puisi diatas, memang tidak terlalu frontal, namun kata anggur daun carbeza dan bersekongkol dengan gadisgadis sudah sedikit memberi gambaran bagaimana Sutardji dengan wataknya mengalir ke dalam puisinya.
Pelaku atau tokoh dalam puisi adalah kami yang mewakili penyair di dalamnya. Latar waktunya adalah malam dengan bulan di atasnya. Latar tempatnya Di cafe jalanan Noventa Y Sieta, Medellin, Columbia.
4. LAPIS DUNIA
Puisi ini dibuat di Medellin, Columbia pada Tahun 1977. Latar belakang budaya sangat terpengaruh dengan tempat pengarang membuat puisi ini. Menghabiskan malam dengan minuman anggur (wine) merupakan budaya orang Barat yang menggelar pesta-pesta di kafe, termasuk menghabiskan waktu dengan wanita-wanita—gadis-gadis.
Kondisi psikologis pengarang ketika itu sepertinya sedang marah dan mengkritisi apa yang ia tanggap sebagai ketidaksesuaian. Terlihat bagaimana SCB membuat pertentangan antara dirinya—kami—dengan subjek lainnya.
5. LAPIS METAFISIS
Sebagai pembaca yang memperhatikan detil puisi ini, saya mendapat kesan pertama yang kontemplatif. Bagian prolog adalah salah satu contohnya, imaji penyair seperti membawa saya masuk ke dunianya, lalu mulai menata fragmen kecil dan sangat rumit yang ia tebar. Saya mengalami sebuah pengalaman bathin yang berbeda, tidak saya temukan ketika membaca puisi lain.
Ketika memilih puisi ini juga saya mengumpulkan banyak puisi SCB, namun saya akhirnya memilih puisi ini untuk dijadikan bahan analisis. Dapat disimpulkan, puisi ini mengalami kontemplasi dan selanjutnya kontemplatif.
Semarang, 2011
Qur'anul Hidayat Idris
TOLONG: Sobat, setelah 2 hari tak terlalu memperhatikan blog ini aku mendapat musibah. Ya, mungkin ketika membuka blog ini kalian melihat ada iklan di samping kanan atau bawah. Nah, saya tidak pernah memasang iklan di K3. Simpulannya adalah ini pekerjaan pihak yang TAK SOPAN. Untuk itu saya minta maaf atas ketidaknyamanan pengunjung. Juga, saya minta masukan dan saran bagaimana mengatasi permasalahan saya ini. Thanks berat.
6 komentar:
Senin, Januari 30, 2012
wow...dikupas tuntas ah puisinya.... sayang saya kurang mengerti bahasa apalagi pembahasan sebuah puisi... jadi menyimak saja dengan khidmat mas... walau dengan berbagai tanya di dada... :-)
salut dengan kemampuanmu mas... keep going..
Senin, Januari 30, 2012
puisi yang berkelas ya, cadas :D
Senin, Januari 30, 2012
geleng2
manggut2
mantaaaap pokoknya. . .
Selasa, Januari 31, 2012
wah keren bgt bisa mengupas puisi sedetil ini.. ckckck..
Selasa, Januari 31, 2012
keren-keren artikelnya bang. . . . moga masalahnya cepet selese yak. . . biar bisa blogging lagi. . .
Selasa, Oktober 19, 2021
Gaya puisinya emang nggak ada duanya, selalu identik
Posting Komentar
Selesai baca, tinggalkan jejak ya!