Cerita Abah

Kamis, 18 November 2010
Share this history on :
kupelajari lewat mimpimimpi cara mengenal dan bersuasapa denganmu, kubayangkan aku mengenakan lencana dan menyandang badik serta senjata. Mengikat kepala dengan bendera lalu dengan sedikit menunduk merambah darah dari aliran nanah penjajah. Aku ingin jadi Pembunuh dan aku ingin membunuh saat itu juga,
seketika aku terjaga. Ah

***

Di tanah Emak, aku mengenal pelepah dan tanah merah tempat tuatua melempar petuah dengan cerita dari silau lampau. Aw, aku kadang ingin menjerit DOOOR ketika Abah sibuk memelinting tembakau yang ke berapa puluhnya, terpaksa menghenti cerita. Tanahku memang melahirkan para pencerita ulung, melahirkan nusa retorika yang tak terkalahkan. Cobalah mengetik di perpustakaan terbesar abad ini yang sekiranya ditutup akan menjadi bencara besar, ya bertanyalah kepada Mbh Google dengan mengetik 'Young Dollah'. Seorang pendongeng dengan daya imajinasi semesta yang tak berbatas juga gaya mahir merengkuh penceritaan.

"Jang, besok kalau kau besar jadilah pahlawan bagi Abah dan Mak ya!" Abah yang duduk dikursi berkain sarung berkopiah miring menatapku dalam, Aku tersenyum dan mengangguk, menampilkan sederetan gigi kuning bocahdegil  kampung yang tak kenal waktu penat. "Lalu kau harus ingat bahwa hidup adalah milik akhirat, artinya dunia ini hanyalah jalan menuju kesana, Kau sudah Abah kasi tahu akhirat Jang?"

"Sudah Bah!" Emak meremas kepalaku setelah menaruh secangkir kopi di atas meja sebelah Abah. Ini memang jadwal Abah minum kopi super besar yang disebutnya 'kopi tersedap' buatan Emak. Emak menyimpul rambutnya ketat lalu duduk sisebelahku.

"Kau belajar Apa tadi Nak?" Emak manarik tubuhku rebah dipangkuannya, kadang sampai aku tertidur.
"Sejarah Mak!"
"Ceritakanlah pada Emak!"
"Emak kenal Pangeran Diponegoro?"
"Semacam Sultankah itu Nak?"
"Entahlah Mak, dia selalu memakai kuda!"
"kau juga punya kuda Nak, tapi tak bisa dibuat naik, tuu!" Emak menunjuk kuda buatanku dari kayu yang kutakik, terpajang dekat lemari tua sebelah kiri ruang tengah. Aku tertawa memunum senyum Emak.

"Oh, dia Raden Mas Ontowiryo!" Abah tiba-tiba menyela setelah menghembus asap tembakau dari mulutnya.
"Siapa pula itu bang?"
"ya itu yang disebutkan anak dikau Nab"
"Sultan itu?"
"Bukan, yang Pangeran Diponegoro!"
"Oo, jadi itu nama samaran bang? macam intel dekat tipi tu?"
"Bukan Nab, dia orang hebat yang dimiliki negeri ini, tidak tamak dengan kekuasaan yang sudah jelas-jelas ada di depan mata. Bayangkan Nab, dia ditawar jadi raja tapi ditolaknya mentah-mentah, setelah itu dia bergerak melawan Belanda menebarkan ancaman propaganda. Kalau orang sekarang Nab, usahkan ditawar, meminta jabatanpun tak malu lagi. Tujuannya satu, kemewahan duniawi!"
"Jadi teringat kerajaan Melaka Bang!"
"Ah, itulah kenapa ada pepatah Melayu, Raja Adil Raja di Sembah, Raja Lalim Raja di Sanggah"
"Jang, dengar cakap Abah tu! Jang.. Dah tidur anak kita bang!"
"Pergilah dikau bawa masuk bilik!"

***

kembali kupelajari lewat mimpi cara bersuasapa dengamu, wajah cerita abah yang kupelajari juga di sekolah. Seorang laki-laki yang datang ke tanahku, tanah Melayu, mengenakan songket, berkuda dan nemakai sorban dikepala, dia berkata"Jadilah pahlawan bagi Emak dan Abahmu!"
Aku terjaga, Ah

"Bah, besok ceritakan lagi!"



Semarang, 10/11/2010
Qur'anul Hidayat Idris

Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar

Selesai baca, tinggalkan jejak ya!