1 Perasaan itu Air: Petak 1 (Menguap)

Minggu, 28 Maret 2010

Pengalaman, adalah waktu yang bergerak. Masa yang menuju pada beberapa titik, bukan hanya satu titik saja. Namun, pada akhirnya tidak dapat dipungkiri pemberhentian itu nantinya. Seperti yang telah ditulis dari novel “cermin”ku, dalam pengalaman ada perasaan, dan kampung ini mendiskripsikan perasaan laksanan air yang keadaannya sesuai dengan kondisi diluar. Menguap, mengembun, mengalir, membasuh atau merebus. Begitulah perasaan akan terwadahkan oleh yang namanya pengalaman. Kita akan merasa dengan perasaan dari sebuah pengalaman.

Pengalamanlah yang akan ditulis oleh aku, seorang warga dari kampoeng karya yang hidup dalam kebulatan, kekompleksitasan, tepatnya sebagai seorang manusia yang biasa, benar-benar biasa.

Kemunculan rencana berwisata-ria ke Yogyakarta membuat aku merasa sangat senang. Selain datang dari Riau dengan harapan bisa mengefektifkan pendidikan dan berhasil dalam jenjang kesarjanaan, tak ku pungkiri masalah jalan-jalan adalah debu yang nempel di benak. Jadinya ketika ada rencana ini, debu itu langsung menggoyang-goyangkan kepalaku. Tak tahan aku menolaknya.
.
“Goes to Jogja” itulah nama acara kami, Sasta Indonesia 2009. Waktu itu aku ditempatkan dalam susunan kepanitiaan di seksi transportasi, walau sebelum menerima tanggungjawab ini tak lebih dulu kubaca kapasitasku, yang akan berdampak kemudiannya. Perencanaan pun diolah matang-matang, rincian dana dibuat, kunjungan wisata apa saja yang akan dikunjungi, selain menarik tempat wisatanya juga harus sesuai dengan ketebalan kantong mahasiswa.

Bukan tanpa badai, bukan tanpa longsor, bukan tanpa banjir. Begitulah juga rencana ini, beberapa masalah muncul mewarnai dari perjalanan ke perjalanannya. Pertama, karena ini adalah rencana wisata independen dari angkatan 2009, timbul keraguan di awal tentang perizinan kampus, apakah perlu atau langsung nyerobot pergi sebagai sebuah lembaga yang tegak sendiri. Aku sendiri waktu itu menyarankan adanya

perizinan, dengan alasan demi kepercayaan orang tua mahasiswa, jadinya perizinan demi perizinan. Tetap ada kubu yang menolak, mengatakan akan ribet dan berbelit, lalu bisa-bisa sistem administrasinya akan dipersulit dan implikasi dengan meminta izin adalah setidaknya keharusan membawa perwakilan jurusan, yang membuat daya ekspresif terganggu (pendapat orang-orang narsis mungkin)

Tidak tahu aku, apakah karena dikelas banyak anak-anak yang narsis, atau memang yang lainnya malas mikir. Akhirnya pendapat kedualah yang di pakai, lalu kemana pendapatku, di depak jauh-jauh karena tidak memenuhi kapasitas suara massa, hehe. Nggak apa-apa, aku juga lambat-laun merasa senang dengan sistem kemandirian ini, yang kalau kau tahu, membuat aku menemukan pengalaman yang membawa perasaanku mengembun dan mengalir deras.

Kedua, tepatnya adalah masalah ongkos yang berdampak kenegatifan lainnya, masalah yang klise bukan?. Aku menyadari panitia telah berusaha menekan biaya sekecil-sekecilnya. Mencari transportasi yang nyaman namun tidak terlalu eksklusif. Menginap di villa yang menampung banyak orang daripada di hotel, lalu mengunjungi tempat wisata yang masih sanggup di jangkau. Tidak perlulah aku menyebutkan berapa biaya yang dibutuhkan dari per-mahasiswa, namun bisa dengan pasti ku katakan biaya itu sesuai dengan apa yang didapat nantinya.

Permasalahannya adalah, banyak mahasiswa yang tidak bisa ikut dengan beragam alasan. Ada yang tidak sanggup dengan biaya yang ditetapkan, ada yang sudah harus membayar kosan, ada yang memang tidak berniat pergi karena telah beberapa kali pergi—orang yang tidak bersolidaritas menurutku, lalu alasan yang tidak mengenakkan karena mereka sudah punya rencana pergi nantinya dengan sang pacar.




Apa yang terjadi?. Panitia kalangkabut dengan masalah ini. Bagaimana tidak, dari 72 mahasiswa yang diawal sebagian besar mencatatkan dirinya untuk ikut, di ujung-ujung keberangkatan menyusut tinggal 30-an orang, fantastis bukan. Panitia mencari akal dan aku tidak terlibat dalam kepanikan tersebut, entah kenapa. Biro perjalanan yang semula dimintai untuk menyediakan dua buas bis akhirnya di ralat menjadi satu bis saja, itu pun yang ukurannya S alias small. Masih saja kurang, karena bis itu memuat 40 orang, gawatnya, seberapa pun yang ikut harus membayar semua kursi dalam bis, panik.

Akibat masalah di atas, terjadi kedilematisan yang luar biasa di tubuh panitia maupun mahasiswa yang benar-benar kebelet pergi. Dan yang kebelet pergi itu salah satunya adalah aku dan seorang wanita yang kupanggil gadis, wanita berjilbab yang ketika itu sependapat denganku. Alasannya jelas, kami berdua orang Sumatera yang merasa punya hak lebih untuk dapat pergi, mengingat jauhnya jarak dari tempat asal dengan tempat-tempat wisata di Jawa.

Kami berdua memberontak kawan, ditengah rapat darurat yang diselenggarakan waktu itu muncul wacana pembatalan atau diganti dengan pergi ke taman permainan yang membuat hatiku dan hati si gadis lantak luluh. Kami tidak mendengarkan apa yang tengah dibicarakan oleh panitia-panita lain yang kebanyakan berasal dari daerah jawa tersebut. Kami berargumen, bukan beradu argument, tetapi menyamakan argument.
“.ngomong saja, sebagai perwakilan mahasiswa dari Sumatera” itulah sepenggal kalimat yang masih kuingat meluncur dari bibir gadis yang menguapkan airku nanti. Aku berpikir sejenak untuk meninbang dan menginat, apakah pendapat ini akan membuat timbulnya rasa primordialisme yang tinggi diantara mahasiswa yang heterogen itu. Namun, aku berpikir ini adalah aspirasi yang perlu disampaikan, menggagalkan rencaca pembatalan. Apa salahnya, pikirku.

Aku pun menyatakan argument di tengah forum itu, kusampaikan dengan runtut dan dengan bahasa yang bisa membuat iba. Apa pun itu, semuanya berawal dari keinginan yang besar dalam diri untuk pergi ke Jogja, apalagi kalau teringat Candi Borobudur. Keinginan itu semakin kuat mengikat. Aku bicara agak lama, teman-teman panitia lain tampak mengangguk-anggukkan kepala, meyakinkan aku kalau mereka juga sebenarnya tidak ingin acara ini batal.

Aku melirik si gadis setelah selesai menyampaikan aspirasi kami berdua. Kulihat senyum tipisnya lega. Entah kenapa, airku langsung menguap, tinggi, tinggi sekali. Aku belum tahu.

Semenjak itu, aku dan………………….. (bersambung)

Semarang, 28 Maret 2010
Qur’anul Hidayat Idris

0 Sekilas, Tahapan Perkembangan Situs Jejaring Sosial

Selasa, 23 Maret 2010
Hidup dijaman serba modern, layaknya kita sedang berada dalam sebuah arena lomba lari. Langkah kaki yang paling cepat dan siapa pun yang ketahanannya mumpuni pasti sanggup untuk selangkah demi selangkah memberi jarak yang semakin dekat dengan lawan. Sebaliknya siapa pun yang hanya ongkang-ongkang kaki, malas ikut kompetisi atau pun ikutnya setengah-setengah. Akan merasakan dampaknya, ditinggalkan.

Diatas adalah sebuah analogi sederhana yang menggambarkan begitu cepatnya “kawan” atau “lawan” yang bernama teknologi mengapit, mengajak atau meledekkan kita dalam cepatnya ia bergerak lari. Pengadaan jasa dan project dibidang teknologi sangat tak berbatas, ianya adalah dunia empuk dan fleksibel yang bisa disentuh oleh siapa saja, tak terkecuali oleh seorang anak yang masih ingusan sekali pun.

Untuk mengerucutkan penjelasan ini, saya merujuk pada fenomena jejaring sosial yang sekarang sedang berkembang saat ini. Melalui data yang saya dapatkan lewat sebuah blog http://ariparamawati.blogspot.com. Maka saya sampaikan data tersebut dalam ringkasan bahasa dan penyampaian saya sendiri.

Situs jejaring sosial yang tengah mewabah ditengah masyarakat sekarang ini, seperti yang paling dikenal dalam dunia pertemanan adalah facebook, twitter, Friendster atau pun media yang kita saksikan sekarang ini, yaitu blogger memiliki tahap yang disebut “tahap perkembangan situs jejaring sosial” yang diawali pada tahun 1995 dengan dasar hubungan dengan seorang teman.

Classmate.com lah yang mengawali sejarah ini, yang kemudian menjadi daya tarik hidup untuk menjadi trend baru dalam dunia interaksi antar-manusia. Laiknya virus yang mewabah, tak ayal trend ini langsung mendapat pengikut-pengikut yang tentunya menjadikan trend ini semakin masuk dalam ranah persaingan maupun komersialitas. Ini terbukti dengan adanya inovasi yang diciptakan “pengikut-pengikut” setelah situs pertama tersebut. Pengikut pertamanya adalah situs dengan nama sixdegrees.com pada tahun 1997, dua tahun setelah yang pertama.

Tahun 1999 lahir jejaring sosial yang berbasiskan kepercayaan yang dikembangkan oleh epinions.com dan jejaring sosial yang berbasis pertemanan yang dikembangkan oleh Uskup Jonathan yang kemudian dipakai pada beberapa situs UK regional antara tahun 1999 dan 2001. Tahun 2005 dilaporkan bahwa jejaring sosial myspace.com lebih banyak diakses dibandingkan google dan facebook.com. Jejaring sosial mulai menjadi bagian dari strategi internet bisnis sekitar tahun 2005 ketika Yahoo meluncurkan Yahoo! 360°.

Pada bulan juli 2005 News Corporation membeli MySpace, diikuti oleh ITV (UK) membeli Friends Reunited pada Desember 2005. Diperkirakan ada lebih dari 200 situs jejaring sosial menggunakan model jejaring sosial ini.

Situs-situs jejaring sosial telah menemukan kejayaannya sejak tahun 2000an dimulai dengan mengguritanya jejaring sosial friendster sejak tahun 2004 dan mencapai puncaknya di tahun 2007. Tahun 2008 hingga 2009 ini kejayaan itu diambil alih oleh jejaring sosial facebook yang memiliki member aktif hingga 350 Juta di seluruh dunia dan melejit di nomor 1 situs jejaring sosial terpopuler dengan pertumbuhan yang sangat drastis.

Merunut data diatas, kita semua bisa memastikan kemenangan facebook adalah benar adanya. Kepastian itu wajar, disebabkan bagaimana maraknya situs ini berkembang dalam masyarakat yang boleh dikatakan tidak memiliki batas gender, status, penghasilan maupun taraf kehidupan. Facebook dibikin sesederhana mungkin dengan perangkat yang mudah digunakan, tidak seperti bahasa pemprograman yang mumet dan membuat banyak orang error dan menyerah.

FB. Sebutan singkat yang dikenal dikalangan facebooker. Dengan cukup megetik facebook.com pada bidang pencarian adalah langkah awal yang selanjutnya kita akan dituntun, bahkan dilatih untuk tertatih-tatih atau sedikit demi sedikit mengenal dan tahu cara untuk menggunakan situs ini. Setelahnya, akan terjadilah keadaan dimana seseorang akan nempel terus didepan laptop atau hp untuk sekedar meng-update status atau memberi komentar atas status sahabat di dunia pertemanan tersebut.

Semarang, 23 Maret 2010
Qur'anul Hidayat Idris

0 Facebook dan Dunia Sastra

Untuk memaparkan prihal sub-judul diatas, saya akan berperan sebagai tokoh utama yang akan bercerita.

Bila ada pertanyaan, saya dimasukkan dalam golongan manusia yang manakah dalam fenomena kejar-mengejar di dunia teknologi. Maka saya katakan kalau saya termasuk dalam golongan manusia yang telat start lari, lalu setelah berlari, saya hanya marathon kecil melawan lawan-lawan unggulan yang telah berlari sprint.
Mempunyai akun di facebook ketika menjadi mahasiswa pada pertengahan tahun 2009 membuat saya telat setahun setelah facebook menjadi trend yang kental pada 2008. Sebenarnya bukannya saya tidak mengenal fb sebelumnya, namun perkenalan tersebut diibaratkan hanya papasan antar-manusia yang tak saling kenal, apalagi akrab. Tahun 2008 saya menggandrungi yang namanya Friendster yang ketika saya masuk sudah mulai lengang dan sepi pengunjung baru, bahkan saat itu pengunjung lama banyak yang berpindah hati ke fb. Oh, iya saya ingat, saya juga ketika itu mengikuti situs jejaring sosial yang bertemakan relijiusitas, yakni situs CyberMQ.com yang merupakan bawahan dari situs miliknya yayasan Daarut Tauhid, yang kita ketahui di pimpin oleh seorang ustadz yang tenar ketika itu, Aa Gym.

Membuat akun di fb ketika saya semakin gusar dengan kebekenannya dikalangan mahasiswa, terutama teman-teman saya sendiri. Walau pun saya berasal dari sebuah desa di Kabupaten Bengkalis-Riau, saya setidaknya sudah memiliki modal dan sedikit kemampuan untuk mengotak-atik yang namanya computer dan internet. Maka, hari itu (saya lupa tanggalnya) dengan segenap semangat yang di dapat dari energi penasaran, saya belajar otodidak membuat akun facebook. Dasar inilah yang membuat saya berani mengatakan betapa mudahnya membuat akun dan bermain-main di fb.

Setelah itu saya mulai mempelajari segala fasilitas yang diberikan fb, mulai dari mudahnya mencari teman yang lama tidak bertemu sua dengan hanya mengetikkan symbol-simbol nama atau kata-kata yang bisa menemukan akunnya, maka bila beruntung, sekejap setelahnya saya akan disibukkan dengan reuni yang berlangsung dalam dunia maya. Lalu dalam fb segala macam kegiatan ter-up-to-date dapat di share kepada seluruh teman-teman yang sudah menjalin hubungan pertemanan, lalu yang paling disukai adalah ketika status itu dapat diolah sedemikian rupa dan dikomentari oleh teman-teman saya tersebut. Selanjutnya ada yang namanya upload fhoto atau video yang semakin mengasikkan, lalu ada chatting yang secara live mempertemukan saya dengan teman dalam perbualan langsung.

Namun apakah yang membuat saya bisa mengatakan adanya hubungan antara teknologi dengan dunia sastra, lebih tepatnya dunia kepenulisan karya-karya non-fiksi. Adalah sebuah fasilitas lagi yang menunjang kebutuhan penyaluran kepenulisan tersebut, yang tidak saya ketahui lama, setelah saya mempunyai akun fb.

Notes atau catatan adalah fasilitas yang berbentuk opsional dalam fb, hal ini yang membuat saya terlambat mengetahui adanya fasilitas tersebut. Berawal ketika saya fb-an ria dengan seorang teman sejawat, saya diperkenalkan fasilitas ini olehnya yang telah sejak lama mengetahui dan menggunakannya. Setelah itu barulah saya tahu kalau notes atau catatan ada dalam rangkuman fasilitas yang ada dalam kolom profil. Untuk bisa menggunakan ini saya harus meng-klik tanda tambah disebelah deretan wall dan fhoto.

Sebelumnya saya katakan kalau saya sangat senang menulis karya sastra, tidak peduli apa genrenya. Mulai dari puisi, prosa dan lakon saya geluti untuk meladeni keinginan untuk bisa mengeksplor tulisan saya dalam beragam bentuk. Dan setelah menemukan fasilitas ini, saya laiknya menjadi seorang pengembara yang berada di padang pasir yang telah lama tidak mendapatkan setetes air dari pengembaraannya itu. Dan begitulah saya, penjelajahan saya di dunia fb membuat saya haus karena tidak menemukan yang namanya fasilitas untuk saya bisa catat-mencatat tersebut. Maka fasilitas ini yang menjadi jawaban dari semua pencarian tersebut.

Tak ayal fasilitas ini benar-benar saya manfaatkan dengan sebaik mungkin, tulisan-tulisan saya pun mulai terbit dilaman-laman para teman, baik itu puisi mau pun cerpen. Saya ingat betul puisi saya yang saya yang diterbitkan pertama dan dikarang pada hari yang sama (kebetulan, semua puisi maupun cerpen yang diterbitkan di fb adalah karya-karya terbaru), berjudul Kecipak kecipuk,,,, byur mempunyai latarbelakang penciptaan yang sedikit naïf dan lucu. Nah, cerita ini akan saya sampaikan dalam karangan saya selanjutnya, ditunggu saja ya.

Saya terus berproses dalam fb lewat notesnya. Membuat saya senang adalah ketika karya kita dapat dibaca oleh orang lain dan terbuka untuk bisa dikritik, di puji bahkan tidak di komentari sama sekali. Itu membuat saya bahagia dan merasa senang karena jagad berkreatifitas saya mendapat tempat untuk melakukan siarnya. Makanya ia semakin “mengamuk” dan menjadi-jadi. Sampai dengan saat ini telah saya buat sebanyak 26 notes yang dapat dilihat sendiri dengan mengakses akun fb saya dengan mengetik e-mail quranul@yahoo.co.id.

Lalu bila ditanya rangkuman apa yang dapat saya ambil untuk menampilkan keuntungan dunia sastra dari perkembangan teknologi, khususnya facebook, maka saya akan membuat beberapa poin keuntungan tersebut.

1.Menjadi media publikasi tanpa harus melewati editor penerbitan

Ini mengindikasikan dengan teknologi, sastra dapat berkembang tanpa melihat siapa orangnya. Kita ketahui kalau dunia penerbitan yang sesungguhnya tidaklah mudah, selain harus mempunyai tulisan yang baik dengan nama penulis yang telah beken, kita juga harus mempersiapkan dana yang tidak sedikit untuk menembus angka penjualan. Namun fakta ini dipatahkan oleh yang namanya teknologi informasi yang memberikan segenap kemudahan untuk siapa pun untuk dapat berkreasi apa pun. Tanpa harus melewati penerbit dan butuh biaya yang banyak, karya kita dapat muncul dengan “jumawa” dan dibaca oleh orang banyak, walau pun ianya tidak menghasilkan keuntungan secara finansial bagi penulis, namun setidaknya kita telah mengeksiskan karya kita di ranah umum. Lalu apakah dengan gaya kepenulisan yang siapa pun dan apa pun bentuknya ini akan membuat karya-karya di fb tidak berkualitas. Jawabannya belum tentu, karena selama saya mengamati dari hasil karya dalam notes di fb, minimalnya penulis “amatir” itu telah sanggup menampilkan pengeksploran bebas yang sebelumnya mungkin belum ditemukan di dunia buku.

2.Mendidik Pemakai untuk Berani Unjuk Gigi


Dalam dunia maya, sebuah fb dirasakan adalah sebuah dunia yang dimiliki secara otoriter yang menghendaki apa pun yang bisa dituangkan. Bila anda pernah berjumpa dengan seorang yang di kehidupan sehari-hari bersikap diam, kalem, “terlihat bodoh”. Maka jangan heran kalau di fb akan anda jumpai seorang manusia baru dengan segenap penolakan stigma negative yang melekat dalam dirinya. Ia akan memiliki gigi untuk ditunjukkan, dan tak jarang gigi itu lebih bertaring dari pada orang-orang yang biasanya bergigi di luar. Kalau ada yang mengatakan kalau keberanian di dunia maya tidaklah menjamin, maka saya membantahnya. Karena tindakan seperti itu lambat laun akan menjadi obat yang menyembuhkan, tepatnya menyembuhkan penyakit ketidakpercayaan diri. Tak lain karena ia merasa taring yang ia miliki tidak kalah tajamnya dengan apa yang dimiliki orang lain, bahkan mungkin sangat tajam.

3.Mengembangkan Sikap Kritis

Tidak seperti di dunia perbukuan yang setelah karya diterbitkan, maka segala macam aspirasi, jalan pemikiran serta jagad kreatifitasnya menjadi sebuah benda yang utuh dan statis. Artinya karya itu menjadi bahan bacaan yang tidak memberi ruang untuk dikeritik langsung, yang dalam hal ini kritik yang langsung ke pengarang. Nah, di fb, sebuah karya yang diterbitkan dan diakses akan diberi kebebasan untuk dikritik dengan cara apa pun. Uniknya kritik ini langsung bisa di tanggapi oleh pengarang. Sip bukan.

4.Membangun Relasi Kepercayaan Atas Tulisan


Memang secara cita-cita, setiap penulis berkeinginan untuk menerbitkan karya dalam bentuk buku, karena ini menghasilkan juga dapat diakses oleh lebih banyak orang dan dapat di kritik oleh para ilmuan sastra. namun, apalah artinya menerbitkan karya tanpa sebelumnya kita membangun relasi kepercayaan atas tulisan kita melalui terbitan-terbitan di fb. Karya kita telah dikenal dan ini tentunya memberi sebuah nilai tambah yang tak tertandingi.

Dalam kesempatan ini, ada empat dulu hubungan atau lebih tepatnya keuntungan sastra lewat media teknologi. Di lain kesempatan akan saya temukan kelanjutannya. Disebalik adanya nilai positif tentunya naïf kalau kita tidak menampilkan sisi negative yang pasti mendampingi. Untuk itu sisi negatifnya akan saya tampilkan dalam beda tulisan.

Semarang, 23 Maret 2010
Qur'anul Hidayat Idris

0 CERMIN

Selalu saja begitu, malam yang larut senang menggoda orang-orang untuk menyemayamkan tubuh dalam lelap. beberapa warung yang sengaja buka hingga subuh masih coba bertahan menghiasi beberapa sudut kota yang seharian lelah bekerja. Tentu saja, selalu sepi pelanggan. Kopi panas adalah menu andalan, karena memang banyak orang yang percaya dengan minum kopi dapat mengurangi kantuk.

Tempat ini jauh dari warung malam, tidak adalagi keramaian diatas jam 00.00. semua hanya sibuk menonton skenario mimpi. Lantas apakah malam ini semuanya diam dan membisu diwajah selimut gelap. Tidak, ada yang masih meramu malamnya dengan detak jantung mulai berlari cepat. Dahi basah keringat dalam dingin. Entah apa yang ingin dilakukan perempuan yang matanya menyimpan ketakutan. Sudah dari beberapa menit yang lalu ia menutupi dirinya dengan jongkok dibalik sebuah pohon besar di tepi jalan.

Tampaknya ia sedang memastikan keadaan, beberapa kali wajahnya keluar dari balik pohon, masih menyimpan ketakutan dan keraguan. Setiap bunyi yang secara tiba-tiba muncul tak ayal membuat ia tersandar di tubuh pohon yang sudah penuh oleh spanduk yang tanpa permisi terpaku. Darahnya bergerak cepat, menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Namun, ia hanya mendapati seekor tikus sebesar kucing yang berlari menyeberang jalan, panik karena telah menjatuhkan kardus di atas tong sampah penuh.

Ia mulai bersiap untuk keluar dari persembunyian. Ketakutan dimatanya kini berganti dengan harapan. Perlahan ia mengendap dengan masih tetap melirik cepat kanan dan kiri. Semakin lama kepercayaan itu mulai muncul, ketenangan dan harapan berpadu menjadi sebuah kekuatan. ia bergerak cepat dengan mata yang tertuju pada sebuah benda. Tergantung di tiang sebuah gubuk. Langkahnya semakin cepat hingga ia menyentuhnya. Sebuah cermin.

***
Didalam kelas yang berisi 70 orang manusia, hawa pengap dan panas jelas terasa. Beberapa orang mahasiswa tak tahan, dikibasnya buku dengan melebarkan celah kerah baju mereka. Tidak berbeda dengan dosen yang kemeja rapinya telah lembab dengan keringat. Inilah ruang perkuliahan tanpa AC, hanya kipas-kipas kecil diatas langit-langit yang berputar tak meyakinkan.

Perkuliahan harusnya sudah dibuka 15 menit yang lalu, tapi apa daya masalah baru yang memperlambat muncul, antara laptop dan proyektor tidak bisa terhubung. Dahi sekretaris dosen yang membantu saat itu sudah limbah keringat, kedua alisnya pun beradu merapat, menandakan ia tengah kebingungan berat. Sampai saat ini, sudah dua orang mahasiswa laki-laki yang coba membantu, tapi, tetap hasilnya nol.

.lihat, nenek baru datang tuh!!”

Salah satu mahasiswa tiba-tiba memekik, memecah suasana yang sebentar tadi diam dalam tunggu. Pandangan kini tertuju pada sebuah arah dengan telunjuk yang tepat menghadap keluar kelas. Wajah Pemekak itu penuh semangat, layaknya itu adalah waktu emasnya dan ia terlihat betul-betul merasa beruntung.

Beberapa detik kemudian tawa pun lepas menyeraki ruangan yang bertambah pengap, lalu menyeraki seorang perempuan didepan pintu yang tersampuk malu. Ia baru menyadari kalau tawa itu ditujukan kepadanya. Belum lagi nafasnya teratur karena telah berlari mengejar waktu telat yang sudah berjalan semakin maju, kini ia mendapati dirinya dikelilingi suara tawa terseling ejekan-ejekan. Tak ada gerakan, ia semakin terpuruk dalam perasaannya yang berkecamuk.

Tawa belum lagi reda, masih sibuk terkapar di lantai sambil menjelir-jelirkan lidah. Entahlah, wanita itu tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Ia mencoba melihat dosen, tapi yang didapatnya hanyalah manusia intelek yang sedang sibuk dengan urusan laptopnya. Kepalanya juga kini tertunduk setelah tahu kalau Wati teman baiknya hanya bisa diam dengan wajah yang meringis. Senyum yang didapatnya pun adalah senyum yang jelas-jelas berkata “.Aku juga malu!”

Sungguh ia ingin terlihat tegar, kuat dalam menghadapi situasi ini. Namun perasaan tidaklah bisa kita atur dalam bentuk narasi sederhana. Perasaan adalah air yang mengalir, memanas, menguap dan mengembun. Perasaannya kini bercampur didalam wadah yang siap menumpahkannya, menyeraki di lahan-lahan matanya yang tidak sanggup untuk membendung aliran perasaan itu. Air itu menghujam, tetes kecil telah jatuh dalam linangan. Airmata yang tumpah, memang tidak bisa terbendung bantah, meluah.

Jiwa yang kalut. Perempuan berambut hitam panjang itu memutar keinginannya untuk kuat. Matanya kini berisikan ketakutan. Sampai titik ia tidak bisa menahan lagi, lari lah salah satu cara yang ia lakukan untuk menjauhkan dirinya dalam peluru tawa yang tak henti-henti menghujam. Dibawanya beserta airmata yang mulai setitik jatuh di lantai atau pun dalam rengkuhan jemarinya yang kini basah.

Pelariankah disebut ini. Perempuan yang wajahnya menyimpan coretan kelam masa lalu yang terhampar. Sering ia berkecamuk dalam perasaannya seperti air itu. Apabila penerimaan itu datang maka akan mengalirlah airnya ke muara yang lebih tenang atau ketika air itu didihkan sehingga memanas, maka ia pun terlempar dalam amarah atau pun euforia semangat yang berkobar. Atau yang kini menjadi prihalnya, perasaan itu menguap, ingatan lama tentang coretan yang masih berberkas itu mencuat dialmari catatan kehidupannya. Dan terpaksa ia pun harus mengotori catatan itu dengan airmata.

Semua tempat disesaki oleh mahasiswa mau pun semua civitas akademika yang sedang aktif. Perempuan itu menyembunyikan dirinya dalam sebuah WC kampus yang beraroma pesing dan kotoran yang tidak dibersihkan sempurna. Ia tidak perduli, ini saatnya ia memendam dirinya dalam kesendirian. Ya, teman yang paling bisa mengerti dirinya sekarang adalah dirinya sendiri. Yang selalu membujuknya untuk meredam air dalam dirinya yang mulai mendidih.

Disandarkannya dahi ke dinding dengan air mata yang kini mengalir lebih kencang. Tangisannya tidak bersuara, hanya matanya berisyarat kedalaman perasaan yang lebur, hancur dengan tumpukan derita. Jari-jarinya pun kini malas menyeka air matanya yang jatuh tak berbendung di lantai WC. Tidak ada tempat mengadu, tidak ada tempat berbagi air mata. Tidak ada tempat menyulam kata yang keluar dari hingar bingar perasaan.

Perempuan itu seperti teringat sesuatu, dengan cepat diambilnya tas sandang hitam yang dipakainya. Lalu dengan tergesa-gesa ia membuka setiap ruangan tas tersebut. Matanya mekar, entah apa yang diharapkannya. Tangannya merogoh cepat. Sepertinya ia lupa dimana ia menyimpan sesuatu yang dicarinya.

Perempuan itu berhenti, tangannya telah memegang sesuatu. Entah kenapa kini ia berat untuk menariknya keluar. Tanpa sadar, air mata yang tadinya telah mulai lenyap kini mengalir lagi dimatanya, kembali disandarkannya dahi ke dinding WC hingga beberapa saat kemudian ia merasa yakin kembali. Ditegakkannya kepalanya dengan berat dengan pandangan yang kembali tertuju pada tasnya yang keras terapit diselengkangan tangan dan dadanya.

Tangannya kembali masuk dalam ruangan tas, persis seperti tadi saat ia menemukan sesuatu tersebut. Keyakinannya sedikit terkumpulkan. Perlahan ditariknya sesuatu itu keluar dari tas. Sebuah benda sederhana pun mencuat dari dalamnya. Namun benda ini tidaklah sederhana ditangan perempaun yang wajahnya menyimpan ketakutan melihat benda ini, seperti benda ini adalah belati yang siap menusuknya kapan pun . Dipegangnya benda itu kecil berbentuk hati itu agak jauh dengannya. Perlahan diangkatnya keatas, sejajar ke arah wajahnya.

Cermin, itulah benda kecil yang kini dipegang dengan tangan kirinya itu, wajahnya semakin menyimpan keraguan dan ketakutan. Namun di balik hatinya paling dasar keinginan itu tidak bisa ditahannya. Tangannya seolah-olah digerakkan kekuatan tak bernama yang ada dalam dirinya, menyembur keluar dan memaksa tangannya yang sebelah kanan mendekat pada cermin berbentuk hati yang masih tersimpan dibalik tutupnya. Wajahnya antara menentang dan mengiyakan kekuatan tersebut yang semakin ganas mengombak-ngombak nalurinya.

Tangan itu menyentuh bibir cermin berbentuk hati. Semakin berat ia menarik penutupnya keatas. Sebuah kaca kini muncul. Lalu, perempuan itu merasakan tangannya mulai menggigil, juga kakinya yang mulai tidak mampu menopang tubuhnya. Udara yang dihirupnya bagai panah beracun yang membuat nafasnya bergelombang semakin tak tenang. Lampu WC dirasakannya mulai redup, redup, meredup dan mati. Ia linglung, dan gelap pun menyertaninya seiring dengan bunyi benda jatuh yang melengking

***

JUN,, Juna,, ayo bangun Juna, ini aku, sadarlah!!” Wati menampar-nampar tubuh Juna yang kusut. Baju warna coklatnya kini basah. Terlihat kekhawatiran yang teramat sangat di wajah Wati, di pijitnya tangan Juna yang terbaring di atas kasur dalam kamarnya.

Akhirnya, mata Juna yang lama terpejam mulai menandakan adanya cahanya yang memuncah. Perlahan matanya terbuka, tak ayal Wati yang menunggu itu sejak tadi bersorak senang dalam hatinya. Kembali nama Juna dipanggilnya berulang kali, sambil setengah jongkok dan tangannya yang menggoyang-goyangkan tubuh Juna.

Wati!!” Juna menubruk tubuh temannya itu, Wati dengan siap menyambutnya dalam pelukan hangat, pelukan seorang teman. Juna kembali menangis, ia terisak di atas pundak Wati yang tidak mau langsung mengganggunya dalam larutan perasaan. Sungguh ia sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada temannya itu, namun ia sendiri tidak bisa berbuat lebih, hanya pelukan dan kata-katanyalah yang bisa ia luncurkan.

aku merasakannya Jun, janganlah kau bersedih lagi” Wati akhirnya memberanikan diri membuka omongan setelah melihat Juna semakin larut dalam kesedihan dan terus menangis dipelukannya. Dengan lembut di lepaskannya pelukan Juna dan dipeganganya kedua pundak temannya itu. Mereka kini berhadapan dan saling bertatapan. Terlihat wajah Juna yang telah lembab oleh airmatanya.

.tatap aku Jun, janganlah kau malu!!” Wati menjadi tak tahan melihat Juna yang menunduk.
setelah aku pulang kuliah tadi pagi, aku pergi ke kosanmu dan kau tidak ada di tempat. Aku menjadi panik dan merasa khawatir tentang keberadaanmu. Kucari kau di warung tapi tidak ada. Hingga akhirnya aku teringat untuk melihat di kampus. Aku teringat kalau dulu kau pernah seperti ini, dan bersembunyi di WC. Kutemukan kau Juna, tapi dalam keadaan pingsan seperti ini.” Lanjut Wati yang menatap lekat wajah Juna yang mulai merasakan kehangatan seorang teman. Wajahnya pun mulai bisa diangkatnya menatap mata Juna.

.maaf Wat, aku merepotkanmu lagi!!” Juna berucap pelan, mungkin tenaganya telah banyak lesap dengan banyak kejadian yang dialaminya dari pagi hingga malam ini. Wati lalu tersenyum menanggapi ucapan Juna.
aku inikan memang tercipta untuk direpotkan olehmu, iyakan Jun, kau yang mencandaiku waktu itu. Tapi aku siap untuk kau repotkan.” Ujar Wati dengan senyum yang mengembang dibibirnya. Tangannya dengan cepat menyeka sisa air mata Juna yang menempel di kedua pipinya. Melihat perlakuan tersebut, Juna bisa menghadirkan senyumannya, walau terlihat ragu-ragu.
Nah, gitu dong..!!” lanjut Wati dengan keceriaan diwajahnya, dan ia pun menggoyang-goyangkan pundak Juna yang tertular energi positif.

Wati lalu mengambil gelas yang telah diisinya air putih, tepat di meja belajarnya. Ia pun memberikan air itu kepada Juna yang meminumnya dengan cepat. Jelas ia terlihat sangat kehausan setelah sekitar tujuh jam pingsan di dalam kamar mandi.

Kau tidur disini saja malam ini, besok pagi kuantar kau pulang!!” Wati kembali duduk disebelah Juna yang wajahnya mulai segar.
aku merepotkanmu lagi Jun..” Juna memandang Wati malu-malu.
Dengan cepat Wati merangkul Juna “sudah kubilang kan, itu memang tugasku, hahaha” Wati tertawa dalam perasaan senangnya melihat Juna yang sudah tenang. Juna pun bisa tersenyum lebih lebar.

***
Cermin yang tergantung itu dipegangnya lembut, lalu sedikit dikibas-kibasnya kaca itu dari debu yang menempel. Malam memang gelap, dan cermin itu tidak bisa memantulkan bayangan, apalagi gubuk itu gelap diluarnya, tanpa cahaya. Perempuan itu mengeluarkan sebuah senter dari saku celananya, senter kecil sebesar korek api. Disorotnya kaca yang gelap itu.

Kaca itu membiaskan bayangan setelah disenteri, ia pun dengan tidak sabar melihat wajahnya dikaca tersebut. Senyumnya mengembang. Terlihat kalau ia sedang sangat menikmati pemandangan wajahnya yang lain. Wajahnya yang tak ia lihat dalam cermin lain. Tanpa kerutan dan keriput luka bakar yang memenuhinya.

Cermin kadang berbeda, dunia yang baik dan buruk terpancar. Begitu juga pencerminan yang baik dan buruk terungkap. Cermin ini menyoroti wajahnya yang kini dipenuhi kegirangan yang teramat sangat. Sebentar saja, setelah itu ia harus menemui cermin yang dianggapnya PEMBOHONG.

Semarang, 14 Maret 2010
Qur’anul Hidayat


0 Mari! kita beternak mimpi

tidakkah kau iri
dengan muka koreng
dada berdaki
juga celana pesing
ia tetap merebus mimpinya
asapnya mengepul
lama-lama mulai beraroma panggilan
"larilah"

tidakkah kau iri
sambil beringsut dan meniti
ia berlari
terengah, namun bibir tergantung senyum
sarapannya hanya sepiring mimpi rebus
masih berasap, ngepul
mengajaknya bercinta

sungguh ia telah menjadi seorang wirausaha mimpi
mimpi rebus menjadi tulang dan darah

mari! kita beternak mimpi
carilah bibitnya dengan kau mulai berlari
ingat, jangan lupa mimpi rebus
lalu letakkan bibit itu semeter didepanmu
jangan, jangan pernah kau meraihnya
sebelum
kau benar-benar berlari

saksikanlah
kambing mimpimu yang mulai besar
larinya semakin cepat
pakailah energi turbomu
untuk tetap
semeter dibelakangnya

kambing mimpimu kini menjadi gajah mimpi
tetap, tambah kekuatan turbomu
biar ia tetap semeter didepanmu

mari! kita beternak mimpi
sampai ia jadi kura-kura mimpi
cantik, menawan
sungguh ia lelah
tahu kau tetap semeter dibelakangnya

kini, ia siap untuk kau panen dan kau kandangi

mari sekali lagi! kita beternak mimpi

Semarang, 17 Maret 2010
Qur'anul Hidayat Idris

0 Segelas Tawa

minumlah segelas tawa yang kuhidangkan
ayo! di telan
atau segera kau simpan
untuk besok jadi menu sarapan

sudah banyak gelas kau habiskan
cerekku pun berkarat menahan
tapi, kubiarkan kau sampai puas
untukku menunggu rindu ini kau tetas

sudahlah!
jangan banyak bicara
aku saja yang bicara
mulutmu hanya untuk meneguk di sepadan bibir gelas
kalau kau ulangi lagi
kan kutahan jatahmu esok hari

nah!
begitu lebih baik

minumlah segelas tawa untukmu
bila cerek tawaku habis
akan kucuri ditempat lain
yang penting kau tetap meminumnya seteguk-seteguk

aku?
aku biasa hidup kehilangan tawa
acuhkan

Semarang, 18 maret 2010
Qur'anul Hidayat Idris

0 KAMU PAKE CD NGGAK?

(cerita ini Cuma legenda konyol yang fiktif semata, tokoh-tokohnya antara ada dan tiada, dan maaf kalau ada merek yang kesebut. Bagi yang merasa memiliki kesamaan nama. BERHATI-HATILAH)

KAMU PAKE CD NGGAK?

Bayu mengepel keringat sebesar labu yang sudah berserakan di jidatnya yang bulat, emang kota ini seperti menanak orang-orang dalam sebuah mancooker. wajahnya keliatan lega, sedikit bebas, mungkin saja ini dikarenakan kemuakannya kuliah hari itu selesai sudah. ia berdiri tepat di depan teras kelas yang sedang disesaki mata-mata kelaparan. Ya, mahasiswa memang konsumtif, tak salah kalau W.M Bu Nardi kelihatan semakin gendut.
"Rames ya Bu!!"
"Bu, es tehnya belum, udah keriting ni tenggorokan"
"sampun, piro Bu?"
tak kurang seperti itulah secuil potret teriakan bahkan pekikan yang mengantri di telinga Bu maret. namun ada satu pekikan yang membuat pemilik kedai makan ini mendengus, dan langsung mendepak pekikan ini dari daftar antrean, seperti yang dilakukan c***k dengan sebelumnya menampakkan wajah memelas.
“Bu, Ngutang ya, kanker nih. Ibu cakep deh” lalu menunjukkan senyum kadalnya.

Kita kembali lagi pada Bayu yang masih tegak di teras kelas, dahinya mengerut, dilematis antara perutnya yang lapar dan kengeriannya melihat cahanya matahari yang sedang gagah-gagahnya. Sebenarnya sih agak bertentangan antara tindakan tersebut dengan bentuk tubuhnya yang imut, alias item semutlak-mutlaknya. Tapi, lagi-lagi tak pernah kumengerti jalan pikirannya.

“hei, Lit..” Bayu sontak langsung menunjukkan keramahannya tiba-tiba pada seorang mahasiswi yang berpayungkan buku, ingin cepat-cepat keluar dari gerbang kampus.

“hai juga Bay, nggak langsung balik nih?” mahasiswi manis yang memakai jilbab itu berhenti, menoleh lalu mendekat ke Bayu yang senyumnya merekah terbelah-belah, ia menurunkan buku yang disandarkan di kepalanya, lalu memarkir dalam kepitannya di dada.

“nanti ada latihan teater Lit, sekarang mau nyari makanan dulu, wetengku ngeleh ik..”

“anak teater sibuk terus ya..!!” Lita tersenyum renyah, renyah sekali.
Bersama, dalam beberapa menit yang ramah mereka menyeraki obrolan di jalan Pleburan yang padat. Dari mulai obrolan kuliah sampai pada pertanyaan tentang kesibukan masing-masing. Bayu tak memperdulikan lagi keringat sebesar labunya yang menyeberang kecelah hidung dan masuk ke rawa hidungnya yang lebar, ia biarkan.

Obrolan tiba-tiba terhenti, mereka kehabisan materi. Keduanya larut membuka almari pertanyaan untuk sekiranya bisa di keluarkan dari dokumen otak. Setelah beberapa detik berkecamuk dalam diam, bayu akhirnya lebih dulu menemukan sebuah pertanyaan.

“.O, iya, kemaren itu kamu pake CD nggak,..?” pertanyaan ini meluncur tanpa dosa, Bayu antusias menunggu jawaban.

“apaan sih, DASAR KURANG AJAR..!!” nah, inilah jawaban yang seperti kilat menyambar Bayu yang langsung terpaku heran. Lita berbalik meninggalkannya setelah mukanya merah padam dan menunduk. Bayu melihat Lita yang meninggalkannya cepat, lalu menunggu bus di pinggir jalan yang beberapa saat kemudian tampak berhenti dan mengangkutnya pulang. Meninggalkan keheranan dan kejengkelan. Bayu memutar otak, pusing.

“apa yang salah ya..?” Bayu menujukan tanya pada dirinya sendiri. Ia memutar otak, tapi yang ditemukannya adalah kebingungan. Ia menggaruk kepala yang sama sekali nggak gatal, ia semakin pusing
Ia berpikir keras,
Semakin kencang,
Kental

“.yassalaaaam,,, akukan mau bertanya, kamu ngantar cerpen pake CD-nya nggak kemaren… yassalaaam, kenapa tak kubilang soft copy saja ya. Malah prediketnya hilang lagi… gagal deh..”


(kalo nggak lucu, tertawa saja ya!!)

Semarang, hari ini
Qur'anul Hidayat Idris

0 Kampung Karya Kita Minggu Ini

Minggu, 21 Maret 2010
Karya kita : Qur'anul Hidayat Idris


Sebuah Deraian

Menangislah
Cobalah untuk terus menangis
Karena tangisanmu
Tidak melunturkan warna-warna cerah
Tidak menghujam
Layaknya peluru-peluru gila

Disana
Berkobar bara api
Yang tak pernah mati
Menentukan filsafat-filsafat
Tanpa menoleh kasta-kasta tak berarti
Menghanguskan asa kosong
Tanpa menyisakan
Debu-debu kecil
Yang menghilangkan
Kilatan menyilaukan mata

Cobalah untuk terus menangis
Tangisanmu tak akan membuat surut
Keinginan melahirkan
Pondasi-pondasi yang selalu bersiap sianga
Menggempur tiang-tiang rapuh
Tanpa dasar

Inilah ketentuan hidup
Jalan ini telah panjang
Jangan sia-sia
Jadi hari tanpa lahirnya tangis

  
                                                                                                    Tameran, Bengkalis-Riau 19 april 2005
                                                                                                    Qur'anul Hidayat I

Penantian Yang Tertunda

Meredam hati yang tak ingin pergi
Ku lihat inilah yang tak bisa ku tempuh
Meratap atas apa yang tak pasti
Mencari kesejatian dalam rautmu yang ikhlas

Air mata menjadi saksi
Ku tenteng sejuta harapan yang ku khayal
Menentang hari yang selalu rindu
Bersua bagai cerita dahulu
Berjalan dalam puing hati yang kian menyatu
Kutunggu
Dalam gundah ku tatap bintang
Berseri
Mencari walau ku sendiri terjepit
Mencekam
Memberi sakit yang tak bisa hilang
Meratap, dan
Inilah satu penantian yang akan
Tertunda, dan
Jangan berharap suatu saat aku akan datang

Pintaku hanya sebatas pinta
Jangan merasa inilah syarat
Ku toleh semuanya dengan kegalauan
Ku ingin ku terus bersemayam di jiwamu
Jangan hapus jadi bayang-bayang seakan mati
Dalam sedih tak sanggup bicara

Carilah yang terbaik
Buktikan pada dunia kita tabah
Ceritakan pada dunia,
Inilah cinta tanpa harus
Memiliki


                                                                                                       Kartini,Bengkalis-Riau 15&16 Juni 2006
                                                                                                       Qur'anul Hidayat I 

Induk!

Tidak senyap sungguh
Derik-derik ranting pun berlagu
Mengadu pada bulan terselit, mengapit
Disitulah aku
Di bawah dentum langkah bocah
Menarikan irama katak terjepit
Tak jarak bersama liur angin
Yang pekat mengelat rasaku
Aku masih disini
Berguyur cahaya yang pandangi lama rentang langkahku
Aku jauh tak berkawan
Hanya tanah ini mengacau ingatku
Tentang keringat indukku, tercecer
Kalahkan tulang belulang memutih
Mengurai suka duka nestapa di sudut matahari
Berair sungai jiwa, aku malu
Tetap di sini mencari benih risau
Menggantung hujan di pelupuk resahmu, induk
Bergayut sudah aku meredam debu menyulut ibamu
Terbawa gelombang di terbang angin seberang samudera
Lagi-lagi berkawan penat
Mengucap tak jelas ejamu induk
Maunya redam itu dari kerling mataku
Mengadu, membual resah ini
Endapkan seberkas embun melekat hati kita, berdua
Tapi aku di sini
Tak jarak membuat semak
Liur angin pun tak sanggup menjaga anganku
Menghatur tawamu induk, hanya itu

  
                                                                                                  Sendang Guo, Semarang, 20-09-09
                                                                                                  Qur'anul Hidayat I 

0 Launching K3

Kamis, 04 Maret 2010
adalah saya seorang mahasiswa Sastra Indonesia Undip bernama Qur'anul Hidayat Idris ingin berbagi dalam berbagai macam hal keilmuan dan karya sastra. maka tepat pada hari ini saya luncurkan sebuah blog Kampung Karya Kita atau dengan singkatan K3. blog ini diharapkan mampu menyalurkan kreatifitas kita dalam berkarya. baik itu puisi, cerpen, lakon ataupun artikel atau esai yang bersifat keilmuan...
selogannya : Berkaryalah maka engkau akan kaya